> >

Voting Online di Pilkada saat Pandemi Covid-19? Opini Budiman Episode 23

Cerita indonesia | 3 Oktober 2020, 09:01 WIB

JAKARTA, KOMPASTV, - Menggelar pilkada di masa pandemi, ibaratnya sebuah perjudian politik. Langkah berani itulah yang diambil oleh elite politik Indonesia. Narasi bangsa terbelah, oligarki politik (Pemerintah dan DPR) sepakat: Pilkada 9 Desember 2020 jalan terus. Tidak ada jaminan pandemi akan berakhir, kekosongan 270 wilayah jadi kecemasan tersendiri. Hak memilih dan hak dipilih adalah hak konstitusional warganegara.

Sebaliknya, kekuatan tengah diwakili NU, Muhammadiyah, Komnas Ham, Kelompok masyarkat sipil, menyuarakan penundaan Pilkada sampai situasi pandemi terkendali. Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, hak untuk hidup adalah juga Hak Asasi Manusia.

Realitas politik mengatakan, suara rakyat diabaikan. Suara Ketua Umum Partai lebih didengarkan, Pilkada jalan terus dengan protokol kesehatan. Faktanya pelanggaran terjadi, sejumlah Komisioner KPU dan KPUD terkonfirmasi positif covid-19. 

Tapi pilkada jalan terus, Pilkada bisa jadi episentrum covid-19, seperti kata Mohammad Qodari. Akan ada 975.540 titik kerumuman pada kampanye selama 71 hari—26 September 5 Desember 2020. Dengan jumlah massa maksimal 50 orang akan ada potensi kerumuman 49,7 juta jiwa. Pada saat pemungutan suara, akan ada potensi titik kerumunan di 305.000 TPS yang bisa melibatkan 82 juta orang dengan tingkat partisipasi 77 persen.

Pandemi memang telah mengubah segalanya.  Pandemi mengubah model kerja, dari kerja di kantor (work from office) menjadi kerja dari rumah (work from home). Beribadah bisa dari rumah. Pertemuan massa berubah jadi pertemuan virtual dengan bantuan teknologi. Jika pemerintah bisa memaksakan kerja di rumah, mengapa tak memanfaatkan pola serupa untuk menyaksikan calon kepala daerah menjual gagasan dari rumah melalui internet, memberikan suara dari rumah (vote from home), dan menghitung perolehan suara pilkada dari rumah (count from home).

Vote from home bisa dengan kotak suara keliling, atau seyogyanya dengan e-voting. Persiapan itu harus dilakukan, jika Presiden Jokowi bisa mewujudkan itu akan jadi legacy.

Peluang e-voting telah dibuka dengan putusan mahkamah konstitusi 30 Maret 2010. Ketua MK Mahfud MD yang kini menjabat sebagai Menko Polhukam pernah menyatakan, e-voting adalah konstitusional bersyarat.

Gugatan uji materi itu diajukan Bupati Jembrana Prof Dr. I Gede Winasa MK mengatakan e-voting bisa diterapkan sejauh tidak melanggar asas jujur dan adil, serta daerah siap melaksanakan, baik dari sisi teknologi maupun sumber daya manusia. MK menafsirkan memberikan suara tak harus diartikan sebagai mencoblos atau mencetak, tetapi juga menyentuh layar sentuh dengan platform teknologi.

E-voting sudah diterapkan dalam pemilihan kepala desa di sejumlah daerah, termasuk desa mendoyo, Jembrana (30 juli 2013), Kabupaten Bantaeng (2014), dan Boyolali (2013). Pemilihan kepala desa melalui e-voting bisa jadi embrio. Memilih dari rumah di Pilkada serentak bisa dilakukan sebelum menuju Pemilu Nasional.

Dengan e-voting, pemilu menjadi lebih hemat dan penghitungan suara bisa lebih cepat. Namun, kendalanya ada. Kesiapan politisi yang mungkin belum percaya dengan teknologi. E-voting akan memangkas anggaran kertas suara, anggaran tinta pemilu, dan anggaran kotak suara. Itu semua adalah bisnis. Karena bisnis pemilu inilah, e-voting menghadapi resistensi.

Apakah e-voting bisa diterapkan 9 desember 2020? Secara teoretis mungkin saja dilakukan di daerah yang siap. Di Solo, Surabaya, Medan misalnya, e-voting mungkin bisa dicoba. Namun, butuh aturan hukum dan butuh komitmen politik dan kesiapan masyarakat.

E-voting boleh jadi menjadi perwujudan retorika Presiden Jokowi membajak krisis. Itu adalah loncatan dan revolusi di bidang kepemiluan. Jika gagasan Mohammad Hatta soal koperasi bisa dimodernisasi melalui equity crowd funding (urun dana), jika sistem pendidikan direformasi dengan distance learning, mengapa Pemilu tak juga direformasi menjadi e-voting?

Jadi, seandainya memang keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, pola kampanye virtual, vote from home, dan count from home, harus bisa dijalankan secara parsial untuk sebuah lompatan jauh. Atau ditunda saja Pilkada di daerah berbahaya, karena keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. 

Penulis : Abdur-Rahim

Sumber : Kompas TV


TERBARU