> >

Ini Alasan Kenapa Konflik di Sudan jadi Masalah Baru yang Bisa Bikin Pening Dunia

Kompas dunia | 21 April 2023, 08:50 WIB
Jenderal Abdel Fattah Burhan, komandan resmi angkatan bersenjata Sudan, dan Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo, pemimpin Pasukan Pendukung Cepat yang tumbuh dari milisi kejam Janjaweed. Pertempuran di Sudan antara dua kubu yang saling bertikai punya konsekuensi yang jauh di luar perbatasannya. (Sumber: Mwanzo TV)

DUBAI, KOMPAS.TV - Pertempuran di Sudan antara pasukan setia kepada dua jenderal teratas mengancam negara tersebut runtuh dan dapat punya konsekuensi yang jauh di luar perbatasannya.

Kedua belah pihak punya puluhan ribu personil tempur, pendukung asing, kekayaan mineral, dan sumber daya lain yang dapat melindungi mereka dari sanksi.

Ini adalah resep untuk konflik yang berkepanjangan yang telah menghancurkan negara-negara lain di Timur Tengah dan Afrika, dari Lebanon dan Suriah hingga Libya dan Ethiopia.

Pertempuran yang dimulai ketika Sudan mencoba beralih ke demokrasi telah menewaskan ratusan orang dan memaksa jutaan orang terjebak di area perkotaan, berlindung dari tembakan, ledakan, dan perampok.

Berikut adalah pandangan tentang apa yang terjadi dan dampaknya di luar Sudan, seperti laporan Associated Press, Jumat (21/4/2023).

Baca Juga: Analis Sebut Bentrok Sudan Berakar dari Konflik Personal Dua Jenderal

Militer Sudan hari Kamis, (20/4/2023) menolak berunding dengan kekuatan paramiliter saingannya, menuntut pasukan paramiliter menyerah sebagai syarat perdamaian. Kedua pihak terus bertempur di Khartoum dan wilayah lain di negara tersebut, mengancam keberhasilan gencatan senjata terbaru. (Sumber: AP Photo)

Pihak-pihak yang saling berperang di Sudan

Jenderal Abdel Fattah Burhan, komandan resmi angkatan bersenjata Sudan, dan Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo, pemimpin kelompok paramiliter yang dikenal sebagai Pasukan Pendukung Cepat yang tumbuh dari milisi kejam Janjaweed yang terkenal di Darfur, keduanya berusaha merebut kendali atas Sudan.

Ini terjadi dua tahun setelah mereka bersama-sama melakukan kudeta militer dan menggagalkan transisi ke demokrasi yang dimulai setelah para pengunjuk rasa tahun 2019 membantu menggulingkan pemimpin otokratis gaek Omar al-Bashir.

Dalam beberapa bulan terakhir, negosiasi sedang berlangsung untuk kembali ke transisi demokrasi.

Pemenang dari pertempuran terbaru kemungkinan akan menjadi presiden Sudan berikutnya, dengan yang kalah menghadapi pengasingan, penangkapan, atau bahkan kematian.

Perang saudara yang berkepanjangan atau pemecahan negara menjadi petak-petak penguasa kecil yang saling bersaing juga mungkin saja bisa terjadi.

Alex De Waal, seorang ahli Sudan di Universitas Tufts, menulis dalam memo kepada rekan-rekannya minggu ini bahwa konflik ini harus dilihat sebagai "putaran pertama perang saudara".

"Kecuali itu dihentikan dengan cepat, konflik akan menjadi permainan multi-level dengan pelaku regional dan beberapa pelaku internasional mengejar kepentingan mereka, menggunakan uang, pasokan senjata, dan mungkin pasukan atau proksi mereka sendiri," tulisnya.

Baca Juga: Penjelasan Pertempuran Sudan: Dua Jenderal Berebut Kuasa, Satu Negara Membara

Kebakaran di Bandara Khartoum akibat serangan milisi paramiliter. Jenderal Abdel Fattah Burhan, komandan resmi angkatan bersenjata Sudan, dan Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo, pemimpin Pasukan Pendukung Cepat yang tumbuh dari milisi kejam Janjaweed. Pertempuran di Sudan antara dua kubu yang saling bertikai punya konsekuensi yang jauh di luar perbatasannya. (Sumber: AP Photo)

Arti Konflik di Sudan Bagi Negara Tetangga

Sudan, sebuah negara Arab dan Afrika, melintasi Sungai Nil dan membagi airnya dengan Mesir dan Etiopia, yang merupakan pemain kawasan yang kuat.

Mesir mengandalkan Sungai Nil untuk mendukung populasi lebih dari 100 juta penduduknya, dan Etiopia sedang mengerjakan bendungan hulu yang sangat besar yang telah membuat Kairo dan Khartoum merasa cemas.

Mesir punya hubungan yang erat dengan militer Sudan, yang mereka pandang sebagai sekutu melawan Etiopia. Kairo telah menghubungi kedua belah pihak di Sudan untuk menekan agar gencatan senjata diumumkan tetapi kemungkinan besar Mesir akan tidak akan tinggal diam jika militer dihadapkan pada kekalahan.

Sudan berbatasan dengan lima negara tambahan: Libya, Chad, Republik Afrika Tengah, Eritrea, dan Sudan Selatan, yang memisahkan diri pada tahun 2011 dan membawa 75% sumber daya minyak Khartoum.

Hampir semuanya terjebak dalam konflik internal mereka sendiri, dengan berbagai kelompok pemberontak yang beroperasi di sepanjang perbatasan yang poros.

"Apa yang terjadi di Sudan tidak akan tetap di Sudan," kata Alan Boswell dari International Crisis Group.

Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Gading-Persada

Sumber : Associated Press


TERBARU