Sedih Berubah Menjadi Murka, Banyak Korban Gempa Turki dan Suriah Saksikan Keluarga Meregang Nyawa
Kompas dunia | 13 Februari 2023, 10:22 WIBANTAKYA, KOMPAS.TV - Rasa sedih korban selamat gempa Turki dan Suriah dilaporkan terlihat mulai berubah menjadi murka dan kemarahan karena banyak korban selamat melihat keluarganya meregang nyawa di puing reruntuhan, disebabkan lambatnya pertolongan darurat.
Lambatnya uluran bantuan darurat dipandang berdampak pada kurangnya personil turun ke lapangan di masa-masa kritis. Padahal, berbagai infrastruktur hancur usai gempa dahsyat menghantam Turki dan Suriah.
Selain itu, buruknya kualitas pembangunan gedung dan bangunan dipandang sebagai sebab utama berbagai gedung runtuh begitu saja menimpa orang didalamnya. Sementara bangunan yang mematuhi aturan pembangunan tetap utuh walau rusak dihantam gempa, sehingga penghuninya sempat menyelamatkan diri.
Ketika gedung apartemen yang dihuni Zafer Mahmut Boncuk runtuh, misalnya, dia menemukan ibunya yang berusia 75 tahun masih hidup tetapi terjepit di bawah reruntuhan di Antakya, Turki.
Selama berjam-jam, Boncuk dengan panik mencari seseorang di kota kuno tersebut mencari bantuan untuk membantunya mengeluarkan sang Ibunda.
Namun Boncuk hanya bisa berbicara dengan Ibunya, menggenggam tangannya dan memberinya air minum.
Teriakan minta tolong Boncuk sia-sia karena tidak ada seorangpun yang datang, dan sang Ibu akhirnya meninggal dunia hari Selasa, (7/2/2023), sehari setelah gempa, di depan mata sang anak yang hancur hatinya karena tidak berdaya menolong sang Ibu.
Seperti banyak orang lain di Turki, kesedihan dan ketidakpercayaannya mulai berubah menjadi murka dan kemarahan karena tanggapan yang dipandang tidak adil dan tidak efektif terhadap bencana bersejarah yang menewaskan puluhan ribu orang di Turki dan di Suriah.
Boncuk mengarahkan kemarahannya kepada Presiden Recep Tayyip Erdogan, terutama karena dia tampak begitu dekat dengan penyelamatan tetapi tidak ada yang datang.
Baca Juga: Pemerintah Turki Siapkan Pemakaman Massal Korban Gempa di Kota Antakya
Jenazah sang Ibu akhirnya dipindahkan hari Minggu, hampir seminggu setelah bangunan itu runtuh. Sementara tubuh ayahnya hingga saat ini masih dibawah reruntuhan.
“Apa yang akan terjadi jika itu ibumu sendiri, Recep Tayyip Erdogan sayang? Apa yang terjadi saat menjadi pemimpin dunia? Kamu ada di mana? Di mana?" Boncuk berteriak.
“Saya memberinya air untuk diminum, saya membersihkan wajahnya dari puing-puing. Saya mengatakan kepadanya bahwa saya akan menyelamatkannya. Tapi saya gagal,” kata Boncuk, 60 tahun.
“Terakhir kali kami berbicara, saya bertanya apakah saya harus membantunya minum air. Dia bilang tidak, jadi saya mengusapkan air ke bibirnya. Sepuluh menit kemudian, dia meninggal.”
Dia menyalahkan "ketidaktahuan dan kurangnya informasi dan perhatian, itulah mengapa ibu saya meninggal di depan mata saya."
Banyak orang di Turki mengungkapkan rasa frustrasi yang sama bahwa operasi penyelamatan sangat lambat sejak gempa 6 Februari dan waktu yang berharga hilang selama jendela sempit untuk menemukan korban yang masih hidup di bawah reruntuhan.
Korban yang lain, terutama di provinsi Hatay selatan dekat perbatasan Suriah, mengatakan pemerintah Erdogan terlambat memberikan bantuan ke wilayah yang paling terpukul karena apa yang mereka curigai sebagai alasan politik dan agama.
Di kota tenggara Adiyaman, Elif Busra Ozturk menunggu di luar puing-puing sebuah bangunan pada hari Sabtu di mana paman dan bibinya terjebak dan diyakini tewas, dan di mana mayat dua sepupunya telah ditemukan.
Baca Juga: Ribuan Bangunan Runtuh, Turki Buru Kontraktor yang Bangun di Daerah Terdampak Gempa
“Selama tiga hari, saya menunggu bantuan di luar. Tidak ada yang datang. Ada begitu sedikit tim penyelamat dan mereka hanya melakukan intervensi di tempat-tempat yang mereka yakini masih ada orang yang masih hidup,” katanya.
Di kompleks yang sama, Abdullah Tas, 66, mengatakan dia tidur di mobil dekat gedung tempat putra, menantu, dan empat cucunya dimakamkan. Dia mengatakan tim penyelamat pertama kali tiba empat hari setelah gempa terjadi. Associated Press tidak dapat memverifikasi klaimnya secara independen.
"Apa gunanya bagi orang-orang di bawah puing-puing?" dia bertanya.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV/Associated Press