Curhat Pekerja Anti-Pandemi China, Merasa Dilupakan Usai Kebijakan Nol-Covid Dicabut
Kompas dunia | 3 Februari 2023, 12:27 WIBBEIJING, KOMPAS.TV - Keputusan Pemerintah China mencabut kebijakan nol-Covid ternyata membuat pekerja anti-pandemi merasa dilupakan.
Pekerja anti-pandemi China menjadi garda terdepan saat wabah Covid-19 melanda negara tersebut, dan menjadi salah satu fungsi penting dari penerapan kebijakan nol-Covid.
Presiden China, Xi Jinping sempat memuji mereka karena telah menantang kesulitan dan dengan berani bertahan menghadapi pandemi.
Namun, salah satu pekerja anti-pandemi bernama Liu, yang sebelumnya ditugaskan saat lockdown di Beijing, merasa mereka dilupakan setelah kebijakan nol-Covid dicabut.
Baca Juga: Balon Misterius Terbang di Atas Lokasi Penting AS, Dicurigai Perangkat Pengintaian China
Liu, 31 tahun yang sebelum menjadi pekerja anti-pandemi adalah pekerja migran merngatakan ia ditinggalkan begitu saja tanpa pekerjaan setelah kebijakan itu dicabut.
“Pembukaan (pencabutan kebijakan nol-Covid) begitu mendadak. Kami mengetahuinya dari media,” ujar Liu yang saat ini bekerja sebagai kurir di Beijing dikutip dari Financial Times.
Selama tiga tahun terakhir, China memobilisasi jutaan pekerja anti-pandemi, yang menjadi tulang punggung dalam perjuangan negara itu memerangi Covid-19, dengan melakukan lockdown, karantina dan tes massal.
Mereka dikenal sebagai dabai, atau “orang kulit putih besar”, karena alat pelindung diri mereka yang khas.
Kebanyakan dari mereka adalah dokter, perawat, pegawai negeri dan sukarelawan lokal yang ditugaskan untuk mengelola tes Covid-19 atau staf bangsal demam sementara.
Namun, mereka juga mempekerjakan pekerja migran dengan banyaran murah, untuk tugas tanpa skill seperti mengecek kode kesehatan digital, melakukan sanitasi area publik dan menjaga area perumahan yang dilockdown.
Banyak mantan dabai yang mengatakan bahwa mereka terjebak dengan keputusan berantakan pemerintah dalam keluar dari kebijakan nol-Covid.
Setelah kota seperti Beijing, Shanghai dan Shenzhen menghapus pengujian PCR, karantina wajib, banyak pekerja kemudian menganggur.
Hal itu meningkatkan tensi antara otoritas China dan para pekerja esensial dengan keahlian rendah.
Banyak dabai yang sudah mengeluhkan kondisi lingkungan kerja yang keras, jam kerja yang terlalu lama, dan pemotongan bayaran saat pandemi virus corona masuk ke tahun ketiga.
Financial Times mengungkapkan pekerja tanpa keahlian itu dibayar 3.500 yuan atau setara Rp7,7 juta per bulan.
Sedangkan pekerja Covid-19 dengan kemampuan medis bisa memiliki empat kali lipat pendapatan tersebut.
Dabai sendiri kerap menjadi target kemarahan publik, karena dikenal sebagai simbol dari strategi represif pemerintah China dengan melarang pergerakan.
Dabai juga sering disamakan dengan pengawal merah era Mao Zedong saat Revolusi Budaya di China.
Baca Juga: Perang Tak Kunjung Usai di Ukraina Bikin Korea Utara Tunda Kirim Pekerja Bantuan untuk Rusia
Mereka kerap terekam melakukan kekerasan terhadap warga setempat.
“(Beberapa) mereka memang melakukan banyak hal yang buruk,” ujar seorang guru yang pernah secara sukarela menjadi dabai di Shanghai selama empat tahun.
Namun, ia mengaku tak terpengaruh oleh perilaku rekan kerjanya.
“Orang-orang ini mengira hanya karena mengenakan jas putih, mereka dibebaskan dari tanggung jawab,” ucapnya.
Penulis : Haryo Jati Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Financial Times