13 Hari Tanpa Air dan Listrik, Warga Mariupol yang Dikepung Rusia Terancam Mati Kelaparan dan Sakit
Krisis rusia ukraina | 15 Maret 2022, 22:38 WIBMARIUPOL, KOMPAS.TV – Ratusan warga berdesakan di basemen atau ruang bawah tanah sebuah gedung publik di Mariupol, kota pelabuhan Ukraina yang kini dikepung tentara Rusia. Mereka kehabisan makanan dan butuh bantuan medis urgen.
“Beberapa bahkan mengalami radang dan keracunan darah karena terkena pecahan peluru,” ujar Anastasiya Ponomareva, 39 tahun, seorang guru yang berhasil melarikan diri dari Mariupol saat awal perang.
“Situasinya sangat gawat,” imbuh Ponomareva yang masih berkontak dengan teman-temannya di Mariupol.
Dikepung tentara Rusia, Mariupol terus dibombardir nonstop. Hampir 400.000 orang terjebak di kota itu tanpa air bersih, dan makanan serta pasokan medis menipis dengan cepat.
Baca Juga: Tiga Pemimpin Negara Uni Eropa Sudah dalam Perjalanan ke Kiev Ukraina Naik Kereta Api, Sungguh Nekat
Melansir BBC pada Selasa (15/3/2022), otoritas setempat menyatakan setidaknya 2.400 warga sipil telah tewas. Namun, mereka memperkirakan, jumlah sebenarnya jauh lebih besar.
“Orang-orang yang berhasil berlindung di bawah tanah pada dasarnya tinggal di sana secara permanen,” kata Ponomareva yang kini tinggal di Drohobych di barat Ukraina.
“(Karena) mereka secara praktis tak bisa meninggalkan (basemen) sama sekali.”
Teman-teman Ponomareva pun tinggal di basemen bersama dengan keluarga-keluarga Ukraina yang lain. Semua meninggalkan rumah yang kini tak lagi aman, atau bahkan tak lagi berdiri.
Sebagian besar waktu dihabiskan dengan bersembunyi di basemen. Dari waktu ke waktu, mereka pergi ke lantai atas untuk mencari secercah sinar matahari. Namun, untuk pergi keluar, terbilang jarang. Kondisi di Mariupol, kata teman-teman Ponomareva, memburuk dengan cepat.
Sejumlah orang mengalami demam parah, dan tak ada yang bisa dilakukan untuk mengatasinya. “Tak ada bantuan medis, tak ada antibiotik,” ujar Ponomareva.
Baca Juga: Stasiun Kereta Api Kiev Jadi Saksi Bisu Pahitnya Perang
Sejumlah ruas jalan sangat berbahaya, hingga hanya sedikit yang berani melintas untuk mengambil mayat sesama mereka. Banyak yang dikubur di dua kuburan massal yang ada di Mariupol.
Serangan artileri nyaris nonstop telah mengubah kawasan tempat tinggal mereka hancur lebur.
“Di sisi kiri sungai, tak ada gedung pemukiman yang utuh, semua terbakar dan rata dengan tanah,” kata Ponomareva. “Pusat kota bahkan tak bisa dikenali lagi.”
Serhii Kozyrkov, 40 tahun, seorang pastor yang meninggalkan Mariupol dua pekan lalu, juga berbagi cerita.
Penulis : Vyara Lestari Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : BBC