Invasi Rusia ke Ukraina Disebut Langgar Piagam PBB, Bagaimana dengan Invasi AS ke Irak pada 2003?
Krisis rusia ukraina | 11 Maret 2022, 10:10 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari lalu langsung disambut kecaman dan sanksi dari seluruh penjuru. Serangan militer yang dilancarkan pemerintahan Vladimir Putin itu pun disebut melanggar Piagam PBB.
Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk PBB Linda Thomas-Greenfield menyebut invasi Rusia ke Ukraina melanggar hukum internasional dan Piagam PBB.
“Rusia memilih untuk melanggar kedaulatan Ukraina, untuk melanggar hukum internasional, melanggar Piagam PBB,” kata Thomas-Greenfield dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB yang membahas tentang Ukraina pada 25 Februari 2022.
Sehari sebelumnya, Presiden AS Joe Biden menyebut serangan ke Ukraina bukan soal ancaman keamanan terhadap Rusia.
“Ini selalu tentang agresi. Tentang keinginan Putin akan imperium – dengan cara apapun yang diperlukan,” kata Biden di Washington.
Sementara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres meminta Putin menghentikan operasi militer dan menarik pasukan Rusia dari Ukraina.
“Ini salah. Ini melanggar Piagam (PBB). Ini tidak dapat diterima. Tapi ini bukan tidak dapat diubah,” kata Guterres pada 24 Februari 2022.
“Piagam (PBB) sudah jelas: ‘Seluruh anggota dalam hubungan internasional mereka, menjauhkan diri dari tindakan mengancam atau menggunakan kekerasan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara lain atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa.’”
Lantas, apakah invasi pimpinan AS ke Irak pada 2003 silam tidak melanggar Piagam PBB?
Baca Juga: Kedutaan Ukraina Merekrut Warga Amerika yang Ingin Berperang
Legalitas Invasi AS ke Irak
Pada 20 Maret 2003, Presiden AS George W. Bush mengumumkan dimulainya operasi militer pimpinan AS ke Irak. Washington menuding pemerintahan Irak di bawah Presiden Saddam Hussein, menyimpan senjata pemusnah massal.
Bush kemudian menggunakan alasan itu untuk mengobarkan perang di Irak. Padahal, inspeksi PBB tidak menemukan senjata yang dimaksud.
Pada 15 September 2004, Kofi Annan yang saat itu menjabat sebagai sekretaris jenderal PBB dalam wawancara dengan BBC mengatakan, invasi AS ke Irak pada 2003 adalah ilegal dan melanggar Piagam PBB.
“Saya salah satu dari mereka yang percaya bahwa seharusnya ada resolusi kedua dari Dewan Keamanan PBB untuk memberi lampu hijau bagi invasi pimpinan AS yang menggulingkan rezim Saddam Hussein,” ujar Annan seperti dikutip Al Jazeera.
“Saya telah mengindikasikan bahwa ini tidak sesuai dengan Piagam PBB dari sudut pandang kami, dan dari sudut pandang piagam tersebut, ini ilegal.”
Baca Juga: Twitter Hapus Postingan Kedutaan Besar Rusia yang Sebut Serangan ke Rumah Sakit Ukraina Palsu
Pada 8 November 2002, Dewan Keamanan PBB mengadopsi Resolusi 1441 yang memberikan Irak “sebuah kesempatan terakhir untuk mematuhi kewajiban-kewajiban pelucutan senjata.” Resolusi tersebut tidak memberikan izin penggunaan kekuatan terhadap Irak.
Annan berpendapat seharusnya Dewan Keamanan PBB-lah yang mengambil tindakan sesuai dengan resolusi-resolusi PBB untuk menekan Saddam Hussein agar meninggalkan upayanya untuk membuat senjata pemusnah massal.
Dia menambahkan, keputusan AS untuk tetap menjalankan misi menginvasi Irak, bersama pasukan Inggris, “tidak sesuai dengan Dewan Keamanan, dan dengan Piagam PBB.”
Hans Blix, seorang diplomat Swedia, memimpin tim inspeksi PBB yang ditugaskan menemukan senjata pemusnah massal di Irak.
“Hari ini, saya melihat lagi alasan-alasan mengapa kesalahan mengerikan – dan pelanggaran terhadap Piagam PBB – ini terjadi,” kata Blix dalam sebuah artikel khusus untuk CNN pada 19 Maret 2013.
Baca Juga: Diminta Kecam Invasi Rusia ke Ukraina oleh Uni Eropa, PM Pakistan: Memang Kami Budak Kalian?
Senjata Pemusnah Massal
“Pemerintahan Bush tentu saja ingin berperang, dan menjadikan pemberantasan senjata pemusnah massal sebagai alasan utamanya,” ujar Blix.
Para penyelidik PBB, kata Blix, diperintahkan untuk mencari, melaporkan, dan menghancurkan senjata pemusnah massal yang diduga dimiliki Irak.
“Karena kami tidak menemukan adanya senjata dan tidak ada bukti yang mendukung kecurigaan itu, kami melaporkan ini.”
“Tapi Menteri Pertahanan AS Donald Rumsfeld mengabaikan laporan-laporan kami dengan salah satu jawaban jenakanya: ‘Ketiadaan bukti bukanlah bukti dari ketiadaan,’” ungkap diplomat yang pernah menjabat sebagai direktur jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA) itu.
Blix berpendapat logika Rumsfeld memang benar. Tapi hal itu, kata dia, tidak dapat dijadikan alasan oleh AS dan Inggris untuk menyesatkan diri mereka dan dunia.
Penulis : Edy A. Putra Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV