Kisah Petinju-petinju Perempuan Irak yang Bertekad Pukul Jatuh Tabu Gender di Negaranya
Kompas dunia | 6 Januari 2022, 15:30 WIBNAJAF, KOMPAS.TV – Tampak petinju perempuan Irak Bushra al-Hajjar melompat ke atas ring, dengan sarung tinju diangkat setinggi mata, dan menyerang lawan latih tandingnya. Perjuangannya yang lebih besar, bagaimanapun, adalah untuk memberikan pukulan terhadap tabu sosial, seperti dilaporkan France24, Kamis, (6/1/2022)
Di kota suci Muslim Syiah Irak, Najaf, pemandangan aula tinju perempuan bukanlah pemandangan sehari-hari, tetapi, seperti yang lain di sini, instruktur tinju berusia 35 tahun itu berjuang memerangi tabu yang sudah mendarah daging di masyarakat.
“Di rumah, saya memiliki ruang latihan tinju yang lengkap, dengan matras dan karung tinju,” kata ibu dua anak yang juga berlatih karate ini.
Hajjar memenangkan emas di kelas 70 kilogram di turnamen tinju di ibukota Baghdad pada bulan Desember.
"Keluarga dan teman-teman saya sangat mendukung, mereka sangat senang dengan level yang saya capai," katanya, dengan kerudung biru yang menutupi rambutnya.
Dua kali seminggu, dia berlatih di sebuah universitas swasta di Najaf, 100 kilometer selatan Baghdad, di mana dia juga mengajar olahraga.
Di Irak yang sangat konservatif, dan khususnya di Najaf, Hajjar mengakui petualangannya membuat banyak orang terjengkang terheran-heran.
"Kami menemui banyak kesulitan," katanya. "Kami adalah masyarakat konservatif yang sulit menerima hal-hal semacam ini."
Dia mengingat sebuah protes ketika fasilitas pelatihan pertama kali dibuka untuk perempuan, tetapi mengatakan "hari ini, ada banyak aula".
Baca Juga: Pabrik Wine Kuno Berusia 2.700 Tahun Ditemukan di Irak, Juga Pahatan Raja Menyembah Dewa
Masyarakat Berbudaya Macho-isme
Pelajar tinju Ola Mustafa, 16, sedang beristirahat dari karung tinjunya. D mengatakan: "Kita hidup dalam masyarakat macho yang menentang kesuksesan bagi perempuan."
Namun, dia mengatakan dirinya mendapat dukungan tidak hanya dari pelatihnya tetapi juga dari orang tua dan saudara laki-lakinya, menandakan perubahan sosial sedang terjadi.
"Orang-orang secara bertahap mulai menerima," katanya. "Jika lebih banyak gadis mencobanya, masyarakat secara otomatis akan menerimanya."
Presiden federasi tinju Irak Ali Taklif mengakui perempuan Irak yang terlibat dalam olahraga itu adalah "fenomena yang terjadi baru-baru ini", tetapi mengatakan trend itu mulai berkembang.
"Ada banyak permintaan dari perempuan yang ingin bergabung," katanya, seraya menambahkan Irak sekarang memiliki sekitar 20 klub tinju perempuan.
Lebih dari 100 petinju perempuan berkompetisi di turnamen yang digelar setiap bulan Desember, di semua kategori, tambah Ali Taklif.
Tetapi "seperti olahraga lainnya (di Irak), disiplin olah raga ini mengalami kekurangan infrastruktur, fasilitas pelatihan dan peralatan".
Baca Juga: Partai Pemimpin Syiah Muqtada al-Sadr Menang Pemilu Irak
Dari Ayah ke Anak Perempuan
Di masa lalu, Irak memiliki tradisi membanggakan perempuan dalam olahraga, terutama pada 1970-an dan 1980-an.
Baik dalam bola basket, bola voli, atau bersepeda, tim putri secara teratur mengambil bagian dalam turnamen regional.
Namun sanksi, konflik puluhan tahun, dan pengerasan nilai-nilai sosial konservatif membuat era ini berakhir, dengan hanya sebagian besar wilayah otonomi Kurdistan di Irak utara yang terhindar.
Ada upaya balik arah yang malu-malu dalam beberapa tahun terakhir, dengan perempuan mengambil peran di berbagai olahraga, juga termasuk kickboxing.
Bagi Hajer Ghazi, yang memenangkan medali perak pada bulan Desember pada usia 13 tahun, tinju mendarah daging dalam keluarga.
Ayahnya adalah seorang petinju profesional veteran yang mendorong anak-anaknya untuk mengikuti jejaknya. Baik saudara perempuan dan kakak laki-lakinya Ali juga petinju.
Baca Juga: 30 Tewas dan Puluhan Terluka pada Serangan Bom di Pasar Pinggiran Baghdad
"Ayah mendukung kami lebih dari yang dilakukan negara," kata Ali di kampung halaman mereka di Amara di barat daya Irak.
Sang ayah, Hassanein Ghazi, adalah seorang pengemudi truk berusia 55 tahun yang memenangkan beberapa medali di masa jayanya. Ghazi menegaskan, "Perempuan memiliki hak untuk berolahraga, itu normal."
Dia mengakui "kepekaan" tertentu tetap ada, terkait dengan nilai-nilai kesukuan tradisional.
Sebagai contoh, dia menunjukkan "ketika pelatih ingin mereka berlari, sang pelatih akan membawa mereka ke pinggiran kota," jauh dari terlalu banyak penonton.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV/France24