Cendekiawan Universitas Paramadina Evaluasi Kebijakan Luar Negeri Indonesia 2021: Terkesan Lembek
Kompas dunia | 22 Desember 2021, 16:00 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Tiga cendekiawan ilmu hubungan luar negeri Universitas Paramadina Jakarta mengevaluasi kinerja kebijakan luar negeri dan diplomasi Indonesia sepanjang tahun 2021 pada isu pembangunan, gender, dan ekonomi, seperti rilis yang diterima KOMPAS TV, Rabu, (22/12/2021).
Ketiga cendekiawan universitas Paramadina yang saat ini aktif mengajar itu menyimpulkan, pada isu pembangunan, gender, dan ekonomi, secara umum ada sederet kekurangan penting yang masih luput ditangani.
Untuk isu gender, dosen prodi Hubungan Internasional universitas tersebut, Dr. Atnike Sigiro, memantau secara umum isu perempuan dalam politik diplomasi luar negeri masih sangat marginal. Meski di negara-negara lain juga ada yang masih marginal, tetapi ada negara-negara yang sudah lebih maju terkait isu perempuan dalam politik luar negeri mereka.
Atnike melihat, Indonesia pada beberapa lembaga multilateral seperti semestinya bisa lebih bersuara pada persoalan-persoalan gender, terlebih ASEAN sudah punya ASEAN Commission on The Promotion and Protection of the Rights of Women and Children (ACWC) di Sekretariat ASEAN, Jakarta.
Selain itu, saat ini Organisasi Perburuhan Internasional ILO yang bernaung dibawah PBB sedang mendorong negara-negara anggota ILO agar meratifikasi ketentuan nomor 190 tahun 2019 tentang pelecehan dan kekerasan di dunia kerja.
"Hal itu perlu mendapat perhatian dalam politik diplomasi luar negeri Indonesia. Pasalnya, Indonesia negara yang memiliki banyak pekerja migran perempuan yang sering mengalami kekerasan di luar negeri," katanya.
Baca Juga: Murka Keamanan Nasional Terancam dari Ukraina, Putin Tuntut Jaminan Keamanan AS dan NATO
Sementara dosen hubungan internasional dari universitas yang sama, Ahmad Qisaí, Ph.D melihat hal penting terkait pembiayaan pembangunan, baik berasal dari domestik ataupun dunia internasional.
Politik dan diplomasi Indonesia dalam hubungannya dengan dokumen Sustainable Development Goals (SDGs) dunia, menurut Qisai, meski kebijakan SDGs domestik selalu disampaikan dengan baik di forum internasional, tetapi fakta domestik ihwal isu pembiayaan pembangunan dipandang masih memiliki PR besar yang harus diselesaikan.
Pada point 16,4 tentang Pemulihan Aset, pada RPJMN jelas disebut soal pemanfaatan pemulihan asset sebagai strategi pencegahan korupsi, tapi faktanya pada uraian tahun 2022 soal RUU pemulihan asset menjadi hilang.
Qisai memandang, terkesan tidak ada keseriusan pemerintah dalam memanfaatkan instrument domestik ini dalam mengakses sumber daya yang disembunyikan oleh para koruptor di luar negeri.
Untuk itu Qisai berpendapat harus ada instrument hukum domestik yang mutlak diperlukan dalam strategi pemulihan asset.
Menurut Qisai, KUHP tidak cukup kuat karena belum sepenuhnya spesifik jika bicara masalah pemulihan asset. Instrumen hukum global telah diratifikasi tentang Asset Recovey, tetapi belum ada instrument hukum domestik yang mendukung ke arah itu.
Baca Juga: China dan AS Saling Balas Sanksi karena Tuduhan Pelanggaran HAM Muslim Uyghur
Ketua program studi hubungan internasional Universitas Paramadina Dr. Tatok D. Sudiarto sementara itu masih melihat ada perbedaan perspektif jika masuk pada pembahasan soal Natuna.
China tidak mengakui UNCLOS 82 tetapi hanya mengakui garis “9 dashline” membuat China harus bersengketa dengan negara-negara yang berbatasan dengan laut Natuna Utara.
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV