Amnesty International Minta Negara Penampung Setop Paksa Pengungsi Pulang karena Terancam Disiksa
Kompas dunia | 7 September 2021, 19:51 WIBBEIRUT, KOMPAS.TV - Organisasi Amnesty International mengatakan, sejumlah pengungsi yang pulang ke Suriah mengalami penahanan, penghilangan paksa, dan penyiksaan oleh pasukan keamanan negara itu.
Dalam laporan bertajuk “You’re going to your death” yang dirilis Selasa (7/9/2021), Amnesty menyebut telah terjadi pelanggaran yang dilakukan intelijen Suriah terhadap 66 warganya yang pulang, termasuk 13 anak-anak antara pertengahan 2017 dan musim semi 2021.
Di antara pelanggaran-pelanggaran itu, Amnesty mencatat terdapat lima kasus di mana tahanan meninggal dalam penahanan setelah kembali ke Suriah, dan 17 orang menghilang.
“Perselisihan militer mungkin sudah mereda, namun kecenderungan pemerintah Suriah untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan, belum,” kata Marie Forestier, peneliti tentang pengungsi dan hak-hak migran di Amnesty International.
“Penyiksaan, penghilangan paksa, dan penahanan yang sewenang-wenang dan melanggar hukum yang memaksa banyak warga Suriah mencari suaka ke luar negeri, masih sering terjadi hingga hari ini,” imbuh Forestier.
Baca Juga: Sistem Pertahanan Rudal Buatan Rusia Berhasil Hancurkan Serangan Rudal Israel ke Suriah
Laporan Amnesty tersebut bertolak belakang dengan klaim sejumlah negara yang mengatakan beberapa bagian Suriah sudah aman bagi pengungsi yang ingin pulang.
Amnesty mengkritik Denmark, Swedia, dan Turki karena dianggap membatasi perlindungan dan menekan pengungsi agar kembali ke Suriah. Kritik juga dialamatkan kepada Lebanon dan Yordania, dua negara dengan jumlah pengungsi Suriah per kapita tertinggi.
“Pemerintah mana pun yang mengklaim Suriah sekarang aman dan dengan sengaja mengabaikan realita mengerikan di lapangan, membuat para pengungsi sekali lagi merasa takut akan keselamatan mereka,” kata Forestier.
Berdasarkan temuannya, Amnesty menyimpulkan, Suriah belum aman bagi para pengungsi yang ingin pulang.
Penulis : Edy A. Putra Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Associated Press/Amnesty International