Wabah Penyakit dan Ibadah Haji Sepanjang Sejarah
Kompas dunia | 20 Juli 2021, 14:00 WIBJEDDAH, KOMPAS.TV - Ibadah haji adalah pertemuan massa dalam jumlah sangat besar dari seluruh penjuru dunia, tumplek di Makkah dan Madinah melakukan ibadah keagamaan, dan berlangsung secara rutin setiap tahun.
Sepanjang sejarah, ibadah haji kerap mengalami berbagai serangan penyakit menular, bahkan sebelum pandemi Covid-19 yang menyerang dua tahun terakhir.
Banyak wabah yang sampai menghambat pelaksanaan ibadah haji, membatasi jumlah jamaah ke tanah suci, dan memakan korban baik jamaah maupun penduduk Makkah, seperti laporan Arab News, Selasa, (20/07/2021)
Salah satu wabah penyakit yang pertama kali tercatat dalam sejarah Makkah disinggung oleh cendekiawan dan sejarawan Ibn Kathir. Dalam bukunya, "Al-Bidayan wan Nihayah atau "Awal dan Akhir", Ibn Kathir memaparkan, sebuah epidemi yang dikenal sebagai peristiwa Al Mashri menghantam Makkah tahun 968, menewaskan manusia dan bahkan unta, sementara mereka yang selamat dan berhasil menunaikan ibadah haji secara penuh akan meninggal tidak lama setelahnya.
Beberapa sejarawan memberi indikasi pada periode itu, jumlah konvoi kabilah jamaah menurun sangat drastis terutama dari wilayah yang dihantam epidemi akibat hancurnya kondisi sosial dan ekonomi maupun berbagai wabah lain di periode lain setelahnya.
Seiring waktu, sejak abad 19 ibadah haji mengikuti revolusi dunia di bidang transportasi, dimana moda baru transportasi membuat perpindahan manusia berlangsung jauh lebih cepat di seluruh dunia, membuat penularan penyakit juga jauh lebih cepat. Hal itu membuat penanganan wabah makin tidak bisa mengimbangi kecepatan penularan.
Abad 19 juga dihiasi epidemi, bahkan pandemi, dan angka harapan hidup anjlok ke 29 tahun karena berbagai penyakit menyebar di seluruh dunia dan menewaskan jutaan manusia.
Wilayah Hijaz juga mengalami epidemi ini, khususnya epidemi kolera, yang berasal dari jamaah haji asal India.
Baca Juga: Jamaah Haji Tiba di Muzdalifah, di Tengah Penjagaan dan Prosedur Kesehatan Ketat
Umat Muslim sudah sejak lama mengenal manfaat karantina, sejak Rasulullah Muhamamad SAW mengatakan, seperti tercatat dalam hadits, "Bila kamu mengetahui ada wabah penyakit di suatu wilayah, jangan memasuki wilayah itu; dan bila wabah penyakit terjadi di wilayah tempatmu berada, jangan pergi keluar dari tempatmu berada,"
Jamaah haji sering menjalani karantina saat pulang dari ibadah haji, seperti yang terjadi di Mesir pada masa kekhalifahan Ottoman.
Karantina saat itu belum menjadi kebijakan kesehatan publik di berbagai tempat, dan dunia saat itu belum akrab dengan wabah penyakit skala dunia. Saat itu, kolera adalah penyakit yang sama sekali baru dan manusia masih memiliki pengetahuan yang sangat terbatas tentang penyakit tersebut.
Kolera saat itu menghantui berbagai rute perjalanan jamaah haji, terutama sejak dibukanya Terusan Suez, yang kemudian mempercepat penyebaran penyakit melalui kapal laut dan jalur kereta. Akibatnya, banyak jamaah haji harus menjalani karantina selama 15 hari di Suez atau di Laut Merah sebelum bergerak ke wilayah Hijaz.
Kolera pertama kali muncul di jazirah Arab tahun 1821 dan mencapai Hijaz tahun 1831. Saat kolera tiba di Makkah, setidaknya tiga perempat jamaah haji yang berada di Makkah meninggal dengan cepat. Peristiwa itu dikenal sebagai "Epidemi dari India" yang bergerak memakan korban jamaah haji dengan kecepatan luar biasa.
Baca Juga: 20 Orang Tertangkap Langgar Aturan Haji 2021, Dijatuhi Denda Rp38,6 Juta
Menurut buku "Sejarah Kesehatan di Asia Selatan" yang diterbitkan Indiana University Press, wabah Kolera tahun 1831 membunuh 20.000 orang di Makkah, dan wabah itu kembali terjadi di tanah suci tahun 1841, 1847, 1851, 1856-1857, dan 1859.
Tahun 1840, kekaisaran Turki menerapkan karantina kesehatan, mengorganisir berbagai penyekatan di jalan dan persimpangan sebelum wilayah tanah suci Makkah.
Politik juga selalu mewarnai kebijakan kesehatan ibadah haji di Hijaz.
Wabah penyakit itu memaksa kekuatan kolonial Inggris dan Eropa untuk memberi perhatian dan memasukkannya ke dalam agenda mereka, tidak untuk menyelamatkan nyawa jamaah haji namun untuk mengamankan kepentingan ekonomi dan geopolitik koloni jajahan mereka. Hal ini terus berlanjut di masa-masa kolonial, dari akhir abad 19 sampai awal abad 20.
Berbagai kekuatan kolonial kemudian menggelar serangkaian pertemuan untuk mengatasi ancaman kolera, yang pertama digelar di Istanbul tahun 1866 yang kemudian dikenal sebagai Konferensi Kolera.
Walau begitu, Kolonial Inggris menganggap angin lalu berbagai temuan ilmiah dari Konferensi Kolera dan berkeras Kolera yang berasal dari India, jajahan mereka, bukanlah penyakit menular, dan tidak mengakui penyekatan serta karantina kapal yang diberlakukan menyusul pembukaan Terusan Suez.
Hal itu dianggap bertanggung jawab atas korban jiwa yang sedemikain banyak, yang sebenarnya dapat dihindari.
Oleh karena itu, walau jamaah kerap yang paling disalahkan sebagai pembawa wabah kolera, penyebarannya di tingkat dunia sebenarnya adalah akibat dari kolonialisme, kapitalisme, dan teknologi baru, sehingga jamaah haji membawa dan menyebarkan penyakit tanpa mereka sadari. Jamaah haji yang dituding sebagai penyebab, sebenarnya adalah korban dari hal tersebut.
Baca Juga: Kisah Cinta 1.300 Tahun dari Kota Pelabuhan Jeddah, Gerbang Haji Puluhan Generasi dari Penjuru Bumi
Tahun 1895 direktorat kesehatan didirikan di Makkah dan secara gradual perkembangan dan pembangunan sanitasi, serta penanganan penyakit seperti vaksin dan antibiotik secara drastis mengubah cara dunia menangani epidemi.
Pada awal tahun 1950-an, Kerajaan Arab Saudi membangun perkampungan khusus bagi jamaah haji di luar kota Jeddah yang sekarang menjadi Rumah Sakit Raja Abdul Aziz.
Dalam rentang waktu antara kematian puluhan ribu jamaah haji dan warga Arab Saudi akibat kolera tahun 1865 dan kesuksesan Arab Saudi menghadang penyebaran pandemi Covid-19 saat ini, Arab Saudi memiliki 95 tahun pengalaman mengelola wabah penyakit dalam berbagai skala.
“Arab Saudi memiliki pengalaman yang luas dalam kesehatan masyarakat, terutama karena telah menampung jamaah dalam jumlah sangat besar selama musim haji dan umrah selama bertahun-tahun,” Dr. Wael Bajahmoom, konsultan penyakit menular dan kepala departemen penyakit dalam di Rumah Sakit King Fahd di Jeddah, seperti dilaporkan Arab News.
Sejarah Kerajaan telah melengkapi otoritas Saudi modern dengan pengalaman signifikan dalam mengelola keramaian dan mengendalikan penyakit.
Sebuah laporan yang baru-baru ini dikeluarkan oleh Lembaga Penelitian Haji dan Umrah menunjukkan penyakit menular masih merupakan ancaman nyata bagi musim haji saat ini.
Data tersebut menunjukkan antara 26 - 60,5 persen kasus yang dilaporkan pada musim haji sebelumnya adalah penyakit pernapasan seperti pilek dan pneumonia, sedangkan sisanya adalah penyakit pencernaan seperti flu usus, diare, dan meningitis.
Angka kematian akibat penyakit menular selama haji berkisar 1,08 - 13,67 persen, dengan rata-rata 7,1 persen.
Baca Juga: Air Mata Bahagia Tumpah Ketika Sekeluarga Terpilih Menunaikan Ibadah Haji
Bajahmoom mencatat Arab Saudi mendukung kebijakan “mencegah lebih baik daripada mengobati,” yang terutama disorot dalam penanganan pandemi Covid-19 yang patut dicontoh, di mana pemerintah membatasi haji untuk jamaah haji lokal yang sudah memiliki imunitas terhadap Covid-19.
“Kerajaan sangat ingin menjaga keselamatan jamaah dan pengunjung ke tempat-tempat suci, dan salah satu dasar keselamatan adalah pencegahan, yaitu vaksinasi. Peran penting yang dimainkan vaksin dalam banyak krisis medis selama beberapa dekade tidak dapat disangkal,” tambah Bajahmoom.
Salah satu krisis tersebut adalah meningitis, yang sangat menular dalam persimpangan manusia seperti di tempat-tempat suci di Mekah. Vaksin sangat penting dalam membatasi penyebarannya.
Menurut Meningitis Research Foundation yang berbasis di Inggris, epidemi meningitis telah dikaitkan dengan ibadah haji, dengan infeksi meningitis terjadi di seluruh dunia setelah jamaah haji kembali ke negara mereka sendiri.
Sejak itu, Arab Saudi mewajibkan vaksinasi terhadap penyakit ini bagi jamaah yang masuk ke Arab Saudi selama haji dan umrah sejak 2002. Tidak ada infeksi yang dilaporkan sejak itu.
Baca Juga: Dulu Kerap Hukum Mereka yang Telat Menutup Toko, Arab Saudi Kini Izinkan Toko Buka Selama Jam Salat
Laporan Public Health Concerns 2019 oleh Kementerian Kesehatan Saudi, tahun di mana Arab Saudi menerima jamaah dari seluruh dunia untuk terakhir kalinya sebelum pandemi Covid-19 saat ini, menunjukkan vaksin meningitis wajib bagi semua orang di area haji; vaksin polio dan demam kuning diperlukan bagi jemaah haji dari negara tertentu; dan vaksin influenza musiman adalah opsional tetapi sangat dianjurkan.
Virus dan penyakit lain yang diperingatkan Kementerian Kesehatan Saudi termasuk demam berdarah, polio, tuberkulosis paru, demam berdarah termasuk Ebola dan demam Lassa, campak, virus Zika, virus yang ditularkan melalui darah, dan penyakit yang ditularkan melalui makanan dan air.
Bajahmoom menjelaskan daftar vaksin untuk jemaah haji ditentukan oleh faktor-faktor tertentu, seperti sifat penyebaran epidemi di suatu wilayah atau kehadirannya di dunia secara keseluruhan, dan faktor lingkungan yang akan memudahkan penyebaran penyakit tertentu seperti musim atau perubahan cuaca tertentu.
“Dengan merebaknya COVID-19 tahun ini, vaksin utama untuk musim haji ini adalah vaksin untuk melawan penyakit ini,” katanya.
Arab Saudi menghadapi berbagai epidemi dan wabah virus sejak meningitis. Pada tahun 2009, dengan penyebaran flu babi, Arab Saudi memutuskan untuk mencegah orang tua, anak-anak dan jamaah dengan penyakit kronis mengikuti ibadah haji tahun itu.
Selain itu, dengan eskalasi infeksi MERS tahun 2013, Arab Saudi mendesak umat Muslim lanjut usia dan sakit kronis untuk menahan diri dari melakukan haji, karena penyakit itu telah menewaskan puluhan orang di Saudi.
Selanjutnya, selama wabah Ebola di Afrika antara 2014 dan 2016, di mana 11.300 orang meninggal, Arab Saudi membuat rencana darurat khusus yang mencakup penempatan staf medis di bandara dan mendirikan unit isolasi karena hampir 3 juta Muslim dari seluruh dunia berbondong-bondong untuk melakukan haji.
Saudi juga menangguhkan visa haji untuk Guinea, Sierra Leone, dan Liberia - tiga negara yang paling parah terkena dampak Ebola.
Baca Juga: Semarak Pasar Domba di Arab Saudi Menjelang Iduladha, Ada Jual Hewan Kurban via Online
Dengan merebaknya Covid-19 di awal tahun 2020 yang merenggut ribuan nyawa di seluruh dunia, puluhan pekerja mulai mensterilkan lantai Masjidil Haram di Makkah. Arab Saudi juga memutuskan untuk menangguhkan masuknya jemaah haji dan memberlakukan langkah-langkah kesehatan untuk melakukan umrah dan haji – sebuah keputusan yang disambut baik oleh Organisasi Kesehatan Dunia WHO.
“Arab Saudi memainkan peran utama dalam memerangi epidemi baik lokal maupun internasional,” kata Bajahmoom. “Kerja samanya dengan seluruh dunia tidak berhenti dengan pertukaran penelitian tetapi juga termasuk dukungan medis dan keuangan ke negara-negara tetangga, serta yang lebih jauh.”
Salah satu kontributor terpenting bagi penelitian ilmiah internasional adalah Ministry of Health’s Global Center for Mass Gatherings Medicine, yang bekerja bahu-membahu dengan WHO dalam pengelolaan kesehatan dari pertemuan massal dan dianggap sebagai salah satu dari sedikit pusat di dunia yang memiliki spesialisasi dalam area ini.
“Memiliki hampir dua tahun pengalaman mengendalikan Covid-19 di samping akumulasi pengalaman Kerajaan memberi kami kemampuan luar biasa untuk memerangi masalah kesehatan apa pun di masa depan,” kata Bajahmoom.
Ketika Arab Saudi mendekati kekebalan kelompok dalam beberapa bulan ke depan, Bajahmoom berharap Kerajaan akan segera menyambut kembali jamaah dari penjuru dunia.
“Pandemi ini hanyalah salah satu dari sekian banyak krisis yang kita hadapi, dan akan berlalu seiring waktu. Kami akan melihatnya sebagai kenangan yang akan membekali kami dengan kekuatan di masa depan.” tegas Bajahmoom
Penulis : Edwin Shri Bimo Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV/Arab News