Arab Saudi Eksekusi Seorang Pemuda atas Tuduhan Pemberontakan Meski Persidangannya Dinilai Cacat
Kompas dunia | 16 Juni 2021, 03:00 WIBRIYADH, KOMPAS.TV – Arab Saudi mengeksekusi Mustafa bin Hashim bin Isa al-Darwish (26) pada Selasa (15/6/2021) yang divonis bersalah atas tuduhan berpartisipasi dalam pemberontakan antipemerintah oleh minoritas Syiah. Eksekusi tetap dilakukan, kendati persidangan Mustafa dinilai ”sangat cacat”.
Menurut kelompok pembela hak asasi manusia (HAM) Amnesty International, masih belum jelas apakah Mustafa dieksekusi atas kejahatan yang dilakukan sebagai anak di bawah umur.
Mustafa ditahan pada 2015 karena diduga berpartisipasi dalam kerusuhan yang terjadi antara tahun 2011 hingga 2012. Lembar dakwaan resmi tidak memerinci tanggal dugaan kejahatannya terjadi, yang berarti ia bisa saja berusia 17 tahun pada saat itu, atau baru berusia 18 tahun.
Melansir Associated Press, kendati tidak mencantumkan tanggal spesifik atas dugaan waktu kejahatannya, pemerintah Arab Saudi tetap mengeksekusi Mustafa atas kejahatan yang dilakukannya di atas umur 19 tahun.
Baca Juga: Jual Film Korea Selatan Ilegal, Pria Korea Utara Dieksekusi Mati Regu Tembak di Hadapan 500 Orang
Tahun lalu, Kerajaan Arab Saudi menghentikan praktik eksekusi atas kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah umur.
Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi menyatakan, Mustafa dieksekusi setelah terbukti bersalah telah berpartisipasi dalam formasi sel teroris bersenjata untuk mengawasi dan menargetkan membunuh para personel polisi, percobaan pembunuhan terhadap personel polisi, menembaki patroli polisi, dan membuat bom molotov dengan sasaran polisi.
Tuduhan lain yang dialamatkan pada Mustafa termasuk berpartisipasi dalam pemberontakan bersenjata melawan pemerintah dan memprovokasi kerusuhan dan perselisihan.
Kejahatan itu diduga terjadi di Provinsi Eastern, lokasi sebagian besar minyak Arab Saudi terkonsentrasi dan rumah bagi populasi Syiah. Eksekusi terhadap Mustafa dilakukan di Dammam, ibu kota provinsi.
Baca Juga: Arab Saudi Eksekusi Mati Tiga Tentaranya Atas Pengkhianatan Terhadap Kerajaan
Pada puncak pemberontakan Arab Spring di seluruh penjuru negeri, Kerajaan Arab Saudi mengalami kerusuhan di kalangan pemuda Syiah Saudi yang turun ke jalan di Qatif yang miskin di Provinsi Eastern.
Mereka menuntut pekerjaan, kesempatan yang lebih baik, serta diakhirinya diskriminasi oleh lembaga dan ulama ultrakonservatif yang didukung pemerintah.
Selama bertahun-tahun, telah digelar banyak eksekusi terhadap kaum Syiah yang terlibat dalam aksi protes yang disertai kekerasan.
Baca Juga: Kisah Cinta Koruptor China Lai Xiaomin Dieksekusi Mati: 100 Selingkuhan Dapat 100 Properti Mewah
Pada 2019, Arab Saudi mengeksekusi 37 warga negara, dan 34 di antaranya diidentifikasi sebagai Syiah, dalam eksekusi massal atas kejahatan terkait dugaan terorisme.
Pada 2016, kerajaan mengeksekusi 47 orang dalam sehari atas dugaan kejahatan yang sama. Di antara korban eksekusi terdapat ulama Syiah terkemuka, Nimr al-Nimr, yang kematiannya memicu gelombang protes dari Pakistan hingga Iran.
Aksi protes juga diwarnai penggeledehan di Kedutaan Besar Arab Saudi di Teheran. Sejak itu, hubungan antara Arab Saudi dan Iran tak pernah pulih dan kedubes Arab Saudi di Iran tetap ditutup.
Di masa lalu, Arab Saudi secara implisit menuding Iran berada di belakang Syiah bersenjata di Arab Saudi saat menyatakan “Mereka beraksi di bawah perintah dari luar negeri.”
Amnesty International menyatakan, Mustafa, yang ditangkap saat ia berusia 20 tahun, ditempatkan di sel isolasi dan ditahan tanpa komunikasi selama 6 bulan.
Aksesnya ke pengacara juga ditolak hingga awal persidangannya dua tahun kemudian oleh Pengadilan Kriminal Khusus di Riyadh, yang didirikan untuk mengadili kasus korupsi.
Baca Juga: Belanda Tawarkan Kompensasi Rp 87 juta, untuk Anak Indonesia yang Ayahnya Dieksekusi Tentara Belanda
Mahkamah Agung menguatkan hukuman mati Mustafa. Menurut Amnesty International, kasus Mustafa kemudian dirujuk ke Kepresidenan Keamanan Negara, yang diawasi langsung oleh pengadilan kerajaan.
Di pengadilan ini, Putra Mahkota Mohammed bin Salman memegang kekuasaan besar. Raja Saudi, Raja Salman, meratifikasi eksekusi, yang sebagian besar dilakukan dengan pemenggalan kepala.
Menurut Organisasi Saudi Eropa untuk HAM, sepanjang tahun ini, Kerajaan Arab Saudi telah melakukan 26 eksekusi. Tahun lalu, sebanyak 27 eksekusi digelar.
Merosotnya jumlah eksekusi tahun lalu sebagian besar disebabkan oleh perubahan yang menyatakan bahwa eksekusi terhadap kejahatan narkoba tanpa kekerasan tak lagi dilakukan.
Penulis : Vyara Lestari Editor : Fadhilah
Sumber : Kompas TV