Militer Myanmar Hendak Sahkan RUU Keamanan Siber, Masyarakat Sipil Protes
Kompas dunia | 16 Februari 2021, 18:00 WIBNAYPYIDAW, KOPMAS.TV - Rezim militer Myanmar berencana mengesahkan "RUU Keamanan Siber" di tengah protes masyarakat pada pemerintah hasil kudeta itu. Kelompok masyarakat sipil Myanmar menentang pula RUU ini.
Kementerian Perhubungan dan Komunikasi mengirim naskah RUU ini ke perusahaan telekomunikasi lokal pada 9 Februari 2021 untuk peninjauan. Dokumen itu bocor dan tersebar di dunia maya.
RUU itu memiliki 76 bagian berisi ketentuan yang memberi kewenangan untuk memerintahkan pemblokiran situs, penghapusan konten, dan penuntutan individu penyebar informasi yang salah.
Baca Juga: Aparat Keamanan Myanmar Makin Keras, Bubarkan Unjuk Rasa Dengan Hujan Tembakan Ketapel
RUU itu diajukan beberapa hari setelah militer melakukan kudeta. Masyarakat Myanmar khawatir jika undang-undang itu sah, kebebasan berbicara di Myanmar dapat lumpuh.
Tanpa aturan itu, junta militer Myanmar memblokir internet saat kudeta 1 Februari dan pada 6 serta 7 Februari.
Masyarakat menyambut kudeta militer itu dengan gerakan pembangkangan sipil meski ada larangan protes. Ribuan orang di seluruh Myanmar melakukan protes dan terus mengumpulkan dukungan.
Internet berperan penting memfasilitasi penyebaran berita dan informasi terbaru lain terkait kudeta dan gerakan penentangan.
Lebih dari 200 kelompok sipil Myanmar telah menandatangani pernyataan yang menolak RUU tersebut. Mereka mempertanyakan kewenangan pemerintah militer dalam pembuatan rancangan undang-undang itu.
Baca Juga: Indonesia Desak Myanmar Menahan Diri Usai Menahan Aung San Suu Kyi
“Penerbitan ‘RUU’ ini merupakan bukti bahwa militer tidak hanya mencoba melakukan kudeta, tetapi juga menjalankan kekuasaan legislatif yang tidak semestinya untuk menindas masyarakat secara tidak sah,” tulis pernyataan itu, dikutip dari globalvoices.org.
“’RUU’ tersebut mencakup klausul yang melanggar hak asasi manusia termasuk hak atas kebebasan berekspresi, perlindungan data dan privasi, serta prinsip demokrasi dan hak asasi manusia lainnya di ruang online,” demikian isi pernyataan kelompok sipil Myanmar.
Kelompok hak asasi manusia salah satunya menyoroti kewajiban perusahaan teknologi informasi mengirimkan data pengguna jika aparat memintanya.
Federasi Komputer Myanmar juga menolak kebijakan tersebut. Pemerintah militer meminta federasi ini ikut meninjau RUU tersebut.
Federasi Komputer Myanmar menyarankan agar militer berkonsultasi dengan para pemangku kepentingan. Mereka juga menambahkan, Anggota Parlemen terpilih harus menyusun RUU tersebut.
Vicky Bowman, Direktur Myanmar Center for Responsible Business, mengatakan kepada majalah Frontier bahwa RUU tersebut akan berdampak negatif pada operasi bisnis perusahaan teknologi informasi.
“Aturan seperti ini, yang tidak melindungi hak asasi manusia, mempersulit perusahaan-perusahaan untuk berkomitmen menghormati hak asasi manusia selama beroperasi di Myanmar, termasuk perusahaan yang menawarkan layanan daring,” kata Bowman.
Baca Juga: Kudeta Myanmar: Internet Kembali Diputus, Tentara Berjaga di Jalanan untuk Hadapi Demonstran
U Aung Myo Min, Direktur Institut Pendidikan Hak Asasi Manusia Burma mengatakan kepada Myanmar Times bahwa undang-undang tersebut dapat melegitimasi kontrol militer atas dunia maya. “Kedengarannya lebih menindas daripada protektif. Sudah diduga tujuan sebenarnya dari RUU tersebut adalah untuk menekan kebebasan berekspresi online dan melarang jejaring sosial,” kata Myo Min.
Pemerintah militer Myanmar terus melakukan represi pada kelompok yang pemrotes ketika kudeta memasuki minggu kedua. Militer telah menangkap beberapa pengunjuk rasa, aktivis, dan jurnalis karena peran mereka dalam gerakan pembangkangan sipil ini.
Militer juga memblokir internet kembali pada Senin (15/2/2021). Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan muncul gelombang penangkapan massal lainnya.
Penulis : Ahmad-Zuhad
Sumber : Kompas TV