Jerman dan Denmark Pertimbangkan Untuk Menunda Pemberian Dosis Kedua Vaksin Covid-19
Kompas dunia | 6 Januari 2021, 15:22 WIBBERLIN, KOMPAS.TV - Jerman dan Denmark kemungkinan akan mengikuti rencana Inggris untuk menunda memberikan dosis kedua vaksin Covid-19 kepada orang-orang yang telah menerima suntikan dosis pertama. Hal ini terjadi di tengah lambatnya program vaksinasi di Eropa yang menyulut kritik tajam dari masyarakat.
Pada pekan lalu, Inggris menyatakan akan memprioritaskan pemberian dosis pertama suntikan Oxford-AstraZeneca atau Pfizer-BioNTech untuk memastikan lebih banyak orang yang terlindungi. Sedangkan dosis kedua dari vaksin ini akan diberikan dalam 11 atau 12 minggu kemudian, bukan tiga minggu kemudian seperti yang disarankan perusahaan pembuat vaksin.
Seperti dikutip dari the Guardian, Menteri Kesehatan Jerman, Jens Spahn, meminta badan pengendalian penyakit negara itu, Robert Koch Institute, untuk menyelidiki tentang penundaan pemberian suntikan kedua.
Baca Juga: Kanselir Jerman: Tahun 2020 Merupakan Tahun Tersulit Selama 15 Tahun Menjabat
Langkah tersebut menimbulkan kritik yang luas, karena langkah ini mengindikasikan bahwa pemerintah Jerman telah gagal mendapatkan pasokan vaksin yang cukup untuk warganya. Selain itu, langkah ini dianggap akan memperlambat program vaksinasi nasional.
“Mengingat kelangkaan vaksin saat ini dan jumlah infeksi dan rawat inap yang sangat tinggi di Jerman, strategi sebanyak mungkin orang divaksinasi sedini mungkin, akan lebih efektif," ujar Leif Erik Sander, Kepala Tim Peneliti Vaksin di Rumah Sakit Charité Berlin.
Senada dengan Jerman, Denmark juga sedang mempertimbangkan untuk mengundur jarak antara pemberian vaksin dosis kedua. Pada Senin (4/1/2021), Lembaga Penyakit Menular negara itu mengatakan bahwa mereka akan memantau situasi di Inggris dengan cermat.
Kementerian Kesehatan Denmark pun menyatakan akan mempertimbangkan interval antara pemberian dosis pertama dan kedua dalam jarak 3 hingga 6 minggu.
Hingga saat ini, vaksin Pfizer-BioNTech merupakan satu-satunya vaksin yang mendapat persetujuan dari European Medicines Agency (EMA). Vaksin ini dianggap sangat efektif, dengan tingkat kemanjuran sekitar 90%. Dengan tingkat efektivitas ini, para ilmuan berpendapat, memperpanjang interval antar vaksin merupakan langkah yang masuk akal.
Namun demikian, pada Senin lalu, EMA menyatakan bahwa interval maksimum selama 42 hari atau enam minggu tetap harus dipenuhi. Jika kedua dosis vaksin diberikan dengan interval lebih dari 6 minggu, akan dianggap sebagai penggunaan yang dilakukan di luar petunjuk, sehingga berkurangnya efektivitas tidak akan menjadi tanggung jawab perusahaan pembuat vaksin.
Baca Juga: Jerman Prioritaskan Vaksin Corona untuk Warga Lansia
Sementara menunggu keputusan EMA tentang interval pemberian vaksin, Uni Eropa juga akan menggunakan vaksin Moderna. Vaksin Moderna diharapkan akan tiba pada minggu ini dan diharapkan akan meredakan situasi vaksin yang masih langka. Para ahli berpendapat, kekurangan vaksin ini harus bisa diatasi pada awal musim semi mendatang.
Dilansir dari Euronews, Denmark merupakan negara anggota Uni Eropa yang paling sukses dalam satu minggu pertama setelah peluncuran vaksin dimulai di kawasan ini. Denmark telah mengimunisasi lebih dari 45.800 dari 5,8 juta penduduk negara itu. Dengan demikian, tingkat vaksinasi di negara ini mencapai 0,78 per 100 orang.
Di peringkat kedua adalah Jerman dengan tingkat vaksinasi 0,23 per 100 orang. Setelah Jerman, ada Kroasia, Portugal, Italia, Polandia, Austria, Bulgaria dan Romania yang berada di peringkat setelahnya. Sedangkan Belanda baru akan memulai program vaksinasi pada 8 Januari mendatang.
Di sisi lain, Prancis saat ini tengah menghadapi tekanan berat untuk mempercepat proses pemberian vaksin. Dikutip dari the Guardian, Presiden Prancis Emmanuel Macron dilaporkan marah ketika bertemu dengan Perdana Menteri Jean Castex dan Menteri Kesehatan Olivier Véran, setelah mengetahui bahwa hanya 516 orang yang diimunisasi di Prancis pada minggu lalu.
Penulis : Tussie-Ayu
Sumber : Kompas TV