> >

Pemerintah Afghanistan dan Taliban Sepakat Hukum dan Syariah Islam Menjadi Panduan Perundingan Damai

Kompas dunia | 11 Desember 2020, 02:22 WIB
Delegasi Taliban sebelum bertemu Menlu AS Mike Pompeo 21 November lalu di Doha, Qatar (Sumber: AP Photo/Patrick Semansky, Pool)

ISLAMABAD, KOMPAS TV – Juru runding pemerintah Afghanistan dan kelompok Taliban sepakat untuk menjadikan syariah Islam sebagai panduan dalam perundingan damai antara mereka, yang saat ini berlangsung di Qatar, menurut sebuah dokumen yang diperoleh Associated Press hari Kamis (11/12/2020)

Seperti dilaporkan Associated Press, dokumen tersebut berisi 21 poin aturan dan prosedur bagi jalannya perundingan, serta memperjelas apa yang diperbincangkan keduabelah pihak dalam perundingan damai yang dilakukan secara tertutup di Doha, Qatar.

Segera setelah acara pembukaan, perundingan menemui jalan buntu namun terobosan dihasilkan minggu lalu saat kedua pihak menyepakati aturan dan prosedur perundingan.

Terobosan tersebut sangat penting karena membuat kedua pihak bisa segera duduk di meja perundingan dan konflik berpuluh tahun di negara itu bisa segera berakhir.

Baca Juga: Utusan Khusus AS: Kelompok Taliban dan Pemerintah Afghanistan Siap Tentukan Agenda Perundingan Damai

Selain itu, perundingan juga akan membahas nasib Afghanistan pasca perang, seperti gencatan senjata, apa yang akan dilakukan terhadap pejuang Taliban yang bersenjata berat, serta berbagai milisi yang setia kepada komandan perang yang bersekutu dengan pemerintahan Afghanistan.

Perundingan juga akan membahas perubahan konstitusi, pengutamaan hak perempuan dan kelompok minoritas.

Seorang pejabat Afghanistan yang dekat dengan proses perundingan kepada Associated Press mengatakan, salah satu titik penting perundingan adalah apakah kesepakatan Taliban dan Amerika Serikat Februari lalu akan menjadi dasar perundingan pemerintah Afghanistan dan kelompok Taliban. Pejabat tersebut tidak ingin disebutkan namanya,

Kelompok Taliban bersikukuh bahwa kesepakatan mereka dengan Amerika Serikat adalah blueprint perundingan, sementara juru runding pemerintah Afghanistan beralasan bahwa pemerintah Afghanistan bukanlah pihak yang terlibat dalam kesepakatan antara Amerika Serikat dan Taliban.

Kesepakatan itu sendiri menjabarkan penarikan mundur pasukan AS dan NATO dari Afghanistan, yang mengakhiri campur tangan terlama militer AS di luar negeri.

Baca Juga: Taliban Dikabarkan Dukung Trump Kembali Jadi Presiden AS, Mujahid Merasa Pernyataannya Dipelintir

Tentara AS di Afghanistan akan dikurangi hingga hanya sebanyak 2,500 orang pada pertengahan Januari nanti, menurut Jenderal Mark Milley, Kepala Staf Gabungan tentara AS setelah Presiden AS petahana Donald Trump memutuskan untuk mempercepat penarikan mundur pasukan.

Menurut Milley, pasukan AS yang lebih kecil dapat beroperasi dari “dua pangkalan militer yang lebih besar,” dan beberapa pangkalan lainnya, untuk melanjutkan misi membasmi kelompok ekstrim seperti al-Qaida dan memberi pelatihan kepada pasukan pemerintah Afghanistan.

Kesepakatan AS dan Taliban pada 29 Februari 2020 lalu juga menggariskan Taliban untuk mencegah serangan apapun terhadap kepentingan Amerika Serikat di Afghanistan.

Terlepas dari penolakan juru runding pemerintah Afghanistan, kesepakatan AS dan Taliban tertulis pada pembukaan dokumen berisi 21 poin itu, setelah deklarasi bahwa hukum dan syariah Islam akan menjadi fondasi perundingan.

“Kehormatan dan martabat Afghanistan terletak pada identitas keislaman dan persatuan nasional,” seperti tertulis dalam dokumen tersebut. “Hanya melalui penerapan keadilan Islami-lah Afghanistan dapat melindungi kedaulatan dan menghindar dari campur tangan baik secara langsung maupun tidak langsung,”

Baca Juga: Sekjen PBB: Afghanistan Harus Segera Lakukan Gencatan Senjata

Perundingan antara kedua pihak diperkirakan akan berlarut-larut dan hasil perundingan masih jauh dari kepastian, namun mantan penasihat pemerintah Afghanistan yang sekarang menjadi analis politik, Torek Farhadi mengatakan, “Semua yang berakal sehat pasti mengharapkan kesepakatan pembagian kekuasaan,”

Kesepakatan pembagian kekuasaan, yang mana akan membuat Taliban menjadi bagian dari arus utama politik dalam masyarakat Afghanistan pasca perang, adalah solusi satu-satunya yang dapat melindungi warga sipil dari beban konflik ini, lanjut Farhadi.

“Untuk warga Afghan, antara Covid-19, kemiskinan, musim dingin, dan kekerasan yang tak berujung, semua hal itu menjadi tak tertahankan,” tambahnya.

“Proses perdamaian masih memperjuangkan dirinya pada saat ini, dan kesepakatan yang berujung pada perjanjian akan sangat lama tercapai,’ menurut Michael Kugelman, Wakil Direktur Program Asia dari Wilson Center.

Baca Juga: Menlu Retno: Kita Berkomitmen Tinggi terus Dukung Proses Perdamaian Afghanistan!

21 poin itu tertulis dalam bahasa Pashto dan Dari –dua bahasa resmi Afghanistan- dan memberi peringatan keras bagi semua pihak untuk tidak membocorkan isi dokumen maupun berbicara kepada media selama proses perundingan.

Dokumen itu juga tertulis seruan agar perundingan tersebut berjalan diatas asas kejujuran, ketulusan, dan berlangsung dalam atmosfir yang baik,” Selain itu  dokumen tersebut mendesak semua pihak menjunjung rasa “saling menghormati dan standar kepantasan,” untuk menghindar dari rasa saling tidak percaya.

Setiap perundingan akan dimulai dan diakhiri oleh do’a bersama, menurut dokumen tersebut, dan bila kedua belah pihak tidak setuju, sebuah kelompok terpisah akan dibentuk untuk mencari solusi alternatif, termasuk bila terdapat situasi dimana interpretasi keagamaan menjadi perdebatan.  

Penulis : Edwin-Shri-Bimo

Sumber : Kompas TV

Tag

TERBARU