Berkat Trump, AS Resmi Keluar dari Perjanjian Paris
Kompas dunia | 5 November 2020, 02:00 WIBBERLIN, KOMPAS.TV – Amerika Serikat (AS) secara resmi menyatakan keluar dari Perjanjian Paris, kesepakatan global yang bertujuan mencegah ancaman bencana perubahan iklim pada Rabu (4/11), seperti dilansir dari Associated Press.
Langkah ini, yang diinisiasi pemerintahan AS di bawah Presiden Donald Trump sejak setahun lalu, semakin membuat Washington terisolasi di dunia, namun tidak memiliki dampak langsung pada upaya internasional untuk mengurangi pemanasan global.
Namun, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menaungi Perjanjian Paris, Prancis sebagai tuan rumah Perjanjian Paris 2015 dan tiga negara yang memimpin pakta ini – Chile, Inggris dan Italia – menyesalkan keputusan penarikan mundur AS melalui pernyataan bersama.
"Tidak ada tanggung jawab yang lebih besar daripada melindungi bumi dan manusia dari ancaman perubahan iklim,” demikian bunyi pernyataan tersebut. "Sesuai sains, kita jelas harus meningkatkan aksi dan bekerja sama untuk mengurangi dampak pemanasan global dan memastikan masa depan yang lebih hijau dan lebih tangguh untuk kita semua. Perjanjian Paris menyediakan kerangka kerja yang tepat untuk mencapai ini."
Lebih lanjut, pernyataan bersama itu menegaskan, “Kami tetap berkomitmen untuk bekerja dengan semua pemangku kepentingan dan mitra AS di seluruh dunia untuk mempercepat aksi, juga seluruh penandatangan, untuk memastikan implementasi penuh Perjanjian Paris.”
Baca Juga: Kajian BMKG dan Doktor UGM Ungkap Cuaca dan Iklim Indonesia Persulit Sebaran Virus Corona
Pembicaraan membahas perubahan iklim selanjutnya akan dihelat di Glasgow, Skotlandia, pada 2021 mendatang. Saat ini, 189 negara telah meratifikasi kesepakatan tersebut, dengan tujuan menjaga kenaikan suhu rata-rata seluruh dunia ‘jauh di bawah’ 2 derajat Celsius, idealnya tidak lebih dari 1,5 derajat Celsius, dibandingkan masa pra-industri. Enam negara lain turut menandatangani, namun belum meratifikasinya.
Para ilmuwan menyatakan, kenaikan suhu di atas 2 derajat Celsius dapat menyebabkan dampak luar biasa di sebagian besar wilayah bumi, menaikkan permukaan laut, memicu badai tropis dan memperburuk kekeringan dan banjir.
Bumi sudah menghangat 1,2 derajat Celsius sejak masa pra-industri, jadi upaya sebenarnya adalah mencegah pemanasan 0,3 – 0,7 derajat Celsius lagi dari sekarang.
Baca Juga: Komitmen Indonesia dalam Pengendalian Perubahan Iklim Global
“Dengan keluarnya AS dari Perjanjian Paris kemungkinan akan mengurangi upaya mitigasi, dan karenanya, meningkatkan jumlah orang yang berada dalam situasi hidup-mati akibat dampak perubahan iklim: ini sudah jelas dinyatakan ilmu pengetahuan,” terang ilmuwan iklim Universitas Cornell Natalie Mahowald, salah seorang penulis laporan sains PBB tentang pemanasan global.
Perjanjian Paris mensyaratkan negara-negara untuk menetapkan target mereka sendiri dalam mengurangi gas rumah kaca seperti karbon dioksida, dan meningkatkan target ini setiap beberapa tahun. Satu-satunya persyaratan yang mengikat adalah mereka harus melaporkan upaya mereka secara akurat.
“Bagusnya sistem ini adalah, tidak ada yang dapat mengklaim bahwa mereka diintimidasi untuk membuat rencana-rencana,” kata Nigel Purvis, mantan negosiator iklim AS di era Presiden Bill Clinton dan George W. Bush. “Mereka tidak dinegosiasikan. Mereka diterima.”
AS merupakan negara penghasil emisi terbesar kedua setelah Cina, dan kontribusi AS dalam mengurangi emisi dipandang penting. Dalam beberapa pekan terakhir, Cina, Jepang dan Korea Selatan telah bergabung dengan Uni Eropa dan sejumlah negara lain dalam menetapkan tenggat waktu nasional untuk mengurangi pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer lebih dari yang mampu diserap pepohonan.
Baca Juga: Iklim Hangat Mempercepat Cairnya Es di Greenland
Purvis menyatakan, calon presiden (capres) dari Partai Demokrat Joe Biden lebih suka AS kembali ke Perjanjian Paris. Karena, ia merupakan perjanjian eksekutif, bukan kontrak yang membutuhkan persetujuan kongres.
Juru bicara Gedung Putih Judd Deere mengatakan, Perjanjian Paris telah membelenggu perekonomian dan tidak menghasilkan aksi apapun untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Jika AS tetap berada di luar pakta Paris, tampaknya negara-negara lain akan mencoba menerapkan tarif bagi barang-barang impor AS. Ini, membuka peluang terjadi perang dagang yang baru.
Mahowald khawatir, dengan keluarnya AS, Cina yang semula sepakat untuk mengurangi emisi dalam perjanjian antar dua negara di bawah pemerintahan Obama, juga negara lain, lantas memutuskan bahwa mereka tidak perlu berbuat banyak untuk mengurangi polusi karbon.
Selain kecaman dari luar negeri, penarikan mundur AS dari Perjanjian Paris ini juga menuai kritik dari beragam kelompok lingkungan dan kesehatan masyarakat di AS.
Jerman – yang saat ini memegang jabatan presiden bergilir Uni Eropa – menyatakan pentingnya Eropa memimpin dengan memberi contoh, apalagi dengan keluarnya AS dari Perjanjian Paris. Juru bicara pemerintah Jerman Steffen Seibert menyebut pada Rabu (4/11), Uni Eropa bercita-cita menjadi benua pertama dengan iklim netral di tahun 2050.
Penulis : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV