Venna Melinda Sempat Diancam soal Video Intim, Ini yang Bisa Dilakukan Korban Revenge Porn
Lifestyle | 4 Februari 2023, 05:30 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Artis Venna Melinda mengaku bahwa Ferry Irawan pernah mengancam akan menyebarkan video intim mereka. Kejadian itu disebutkan terjadi pada November 2022 lalu.
Lantas, mengapa video porno sering kali dijadikan senjata untuk mengancam atau revenge porn?
Berkaca dari fenomena tersebut, menurut konsultan perkawinan Sri Nurhewati, perempuan menjadi pihak yang paling rentan dirugikan. Pasalnya, masyarakat masih meletakkan konten-konten tersebut dalam pijakan moralitas sehingga membungkam korban. Korban disebut akan mundur, yang akhirnya mengikuti kemauan pelaku.
“Meski korban memiliki hak dilupakan, namun tantangan menghapuskan konten atau jejak digital pornografi penghambat pemulihan korban,” kata tutur Sri kepada Kompas TV, Jumat (3/2/2023).
Hal serupa juga dinyatakan Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi. Ia menyebut alasan video porno dijadikan ancaman adalah lantaran masyarakat menilai dan menjadikan tubuh perempuan sebagai simbol moralitas sekaligus objek seksual.
Tersebarnya tubuh perempuan ke publik akan berdampak berbeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki atau suami yang menguasai konten intim dengan istrinya memiliki tambahan kuasa.
Penguasaan tersebut menjadi alat kontrol terhadap istri atau pasangan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. “Ancaman penyebaran konten intim ini menjadi alat untuk tetap memaksa korban berada dalam siklus kekerasan,” ungkapnya.
Baca Juga: Venna Melinda Sebut Ferry Irawan Ancam Sebarkan Video Intim
Lalu, adakah yang bisa dilakukan korban?
Solusi bagi korban
“Korban harus melaporkan ke polisi untuk melakukan perlindungan dengan hapus konten atau rampas dari pelaku,” tuturnya.
Menurut Sri, korban revenge porn pun bisa menuntut pelaku. Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), ada pemberatan hukuman untuk pemerasan. Pemerasan ini dimaksud bukan hanya untuk uang, tetapi secara luas, seperti pengancaman, memaksa, dan memperdaya.
“Ada di Pasal 14 ayat 2 UU TPKS,” sebutnya.
Menurut Pasal 14 UU TPKS, pelaku kekerasan seksual elektronik dapat dipidana penjara maksimal 4 tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta. Selanjutnya, pada Pasal 14 Ayat (2) dijelaskan, apabila tindak kekerasan seksual berbasis elektronik itu dilakukan untuk melakukan pemerasan atau pengancaman dan memaksa atau menyesatkan dan/atau memperdaya, pelaku dapat dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 300 juta.
Adapun kekerasan seksual berbasis elektronik tersebut merupakan delik aduan, kecuali korban adalah anak atau penyandang disabilitas.
Sri menilai, langkah tersebut dinilai akan cukup bisa membuat pelaku takut. “Kalau dia ditahan, dipersalahkan, pasti takut. Apalagi kalau Ferry viralkan justru menguatkan KDRT-nya. Ini yang akan bikin dia takut, karena dia takut disebut pelaku KDRT,” tuturnya.
Sementara, menurut Siti Aminah, yang harus dilakukan korban adalah tetap tenang dan melakukan pengamanan data digital. Selain itu, jika dilakukan penyebaran konten itu adalah tindak pidana ITE yang dapat dilaporkan.
“Korban juga bisa meminta take down konten dengan mengajukan keberatan ke Menkominfo dan platform digital,” jelasnya.
Psikolog Elizabeth Kristi Poerwandari pun mengingatkan, tampaknya kita, khususnya yang berada dalam posisi lebih rentan, perlu berpikir lebih panjang, menetapkan batas-batas yang tegas dalam pergaulan, dan berani berkata “tidak” ketika merasa tidak nyaman.
“Bila telah telanjur menjadi korban, tak perlu menyesal berkepanjangan. Semoga dapat memperoleh pendampingan dan bantuan agar dapat memperoleh keberdayaan diri kembali,” tuturnya, dikutip dari Kompas.id.
Penulis : Fransisca Natalia Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV