Mengenang Sisi Religius Bj Habibie, sang Pemersatu Cendekiawan Muslim
Risalah | 1 Mei 2022, 05:45 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Salah satu sisi menarik dari Presiden Ketiga RI, BJ Habibie, adalah sisi religius yang ia wariskan sebagai wacana ideal tentang manusia Indonesia: modern, cerdas dan agamis.
Sepanjang hidup mengabdikan diri pada negeri, Rudi, sapaan kecil dari BJ Habibie senantiasa menjadikan sains sebagai sebuah metode berpikir yang tidak sendirian. Baginya, selalu ada iman dan takwa sebagai penyeimbang rasionalitas dalam sains.
Dalam memoar yang ia tulis, Habibie dan Ainun, ia mengisahkan bagaimana harusnya landasan berpikir bagi seorang manusia, khususnya manusia Indonesia agar tidak kalah dengan keadaan.
“Manusia sepanjang masa tidak boleh berhenti untuk meningkatkan Imtak yang harus seimbang Iptek,” katanya.
Habibie adalah contoh seorang yang tidak hanya berteori, lebih dari itu, ia mengamalkan sisi Imtak atau iman takwa dalam kehidupannya sehari-hari.
A Makmur Makka dalam biografi BJ Habibie: Kisah Hidup dan Kariernya (1995) mengisahkan bagaimana ia hidup dengan sisi religius yang seolah menyatu dalam dirinya.
“Karena pengaruh salat, saya fresh. Karena gerakannya itu, juga pikirannya. Saat kita tidak memikirkan sesuatu yang ruwet. Sebab Tuhan tidak ruwet, very simple, clean and clear. Otak kita seperti dibersihkan dengan salat lima kali,” kata Habibie di buku tersebut (hal.105).
Baca Juga: Jejak dan Pengaruh Buya Hamka: Ulama dan Ahli Tafsir yang Sastrawan
Jejak BJ Habibie dan Kontribusi pada Islam
BJ Habibie lahir 5 Juni di Parepare dan memang sedari kecil sangat gemar pengetahuan. Ia sedari kecil sudah menunjukan sisi religus.
Ia pun bercerita, dirinya memang tidak pernah secara formal belajar di lembaga seperti pesantren atau sekolah berbasiskan Islam, tapi ia merasa dekat karena ibunya adalah sosok muslimah tangguh dan religus.
Rudi kecil juga pernah menjuarai ajang baca Al-Qur’an secara tahsin dan fasih. Bukti ia memang dekat dengan agama dan Al-Qur’an sedari belia.
“Saat itu belum ada MTQ ya, tetapi saya bukan ahli agama,” katanya.
Pengaruh religiusitas ini yang kelak senantiasa terpatri dalam dirinya ketika menjadi sosok ilmuwan. Baik ketika di Jerman maupun ketika kembali di Indonesia dan menjadi sosok penting bagi transisi demokrasi Indonesia, yakni jadi presiden pada tahun 1998-1999.
Penulis : Dedik Priyanto Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV