Perdebatan Soal Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dari Masa ke Masa
Cerita | 24 April 2021, 03:32 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Ucapan Zaskia Adya Mecca soal penggunaan pengeras suara di waktu sahur menuai polemik. Namun, bukan kali ini saja masyarakat Indonesia berdebat soal pengeras suara di masjid.
Umat Islam di wilayah yang sekarang bernama Indonesia sudah menggunakan pengeras suara sejak Zaman Penjajahan Belanda. Hal ini salah satunya tercatat oleh seorang pengkaji Islam asal Belanda, G.F. Pijper
"Pengeras suara dikenal luas untuk menyuarakan azan di Indonesia sejak tahun 1930-an. Masjid Agung Surakarta adalah masjid pertama yang dilengkapi pengeras suara," tulis Kees van Dijk dalam Masa Lalu Dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia, melansir catatan Pijper.
Baca Juga: Cerita Dibalik 7 Muadzin Kumandangkan Azan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Mengutip Historia, perusahaan elektronik dari Jepang bernama TOA masuk ke Indonesia kemudian. Masyarakat mulai menggunakan pengeras suara bikinan TOA ini pada 1960-an.
Sejak saat itu, merek ini terus populer dan menjadi seperti sinonim dari alat pengeras suara.
Penggunaan pengeras suara di masjid ini tak selalu mendapat sambutan baik. Pada tahun 1970, muncul perdebatan soal pengeras suara ini.
"Bagaimana kalau ada orang yang sakit di sekitar masjid dan meninggal karena suara azan yang terlalu keras, misalnya," kata seorang warga Jakarta dalam koran Ekspres edisi 22 Agustus 1970.
Sementara, warga lainnya mengatakan tak keberatan mendengar suara azan lewat pengeras suara.
"Sekalipun saya orang Budhis, saya bisa merasakan hikmah yang agung itu dan saya senang,” ujar Oka Diputhera, pegawai di Departemen Agama pada wartawan koran Ekspres saat itu.
Baca Juga: Pertanyakan Cara Membangunkan Sahur yang Lagi Hits, Postingan Zaskia Mecca ini jadi Sorotan
Akan tetapi, Oka memprotes kebisingan pengeras suara dari masjid untuk hal di luar azan. Ia mencontohkan, suara pembacaan Al-Quran, doa, dan zikir saat larut malam atau dini hari.
Polemik yang sama juga muncul pada 1973. Keluhan warga soal pengeras suara di masjid terdengar oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu Ali Sadikin.
Lalu, ia menyuruh bawahannya menegur pengurus Masjid Anyer agar mematuhi petunjuk Musyawarah Alim Ulama DKI.
Petunjuk yang terbit pada 22-23 September 1973 itu memperbolehkan penggunaan pengeras suara untuk azan dan pengumuman bersifat darurat.
Namun, Musyawarah Alim Ulama DKI menilai penggunaan pengeras suara untuk menyiarkan zikir, doa, dan pidato saat dini hari sebelum subuh adalah tindakan berlebihan.
Petunjuk itu muncul mempertimbangkan empat hal, dikutip dari Historia.
Baca Juga: Menjaga Toleransi - SAHUR TIME
Salah satu pertimbangan mereka merujuk Surat Al-Israa ayat 110 yang berbunyi, "Janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu."
Musyawarah Alim Ulama juga mempertimbangkan kebutuhan suasana sunyi dan hening untuk ibadah, zikir, dan doa yang khusyuk.
Ada pula usulan agar warga baru bisa menggunakan pengeras suara 15 menit sebelum subuh di hari biasa dan 30 menit sebelum subuh di bulan Ramadhan.
Pengurus masjid juga dianjurkan melafalkan azan dengan sungguh-sungguh, fasih, dan merdu.
Di sisi lain, sebuah masjid di Kebon Jeruk, Jakarta malah mengharamkan penggunaan pengeras suara.
“Karena tidak ada pada zaman Nabi,” ujar A.M. Fatwa, koordinator Dakwah Islam Jakarta berdasarkan arsip Kompas edisi 12 Januari 1977.
Baca Juga: Cara Optimalkan Ibadah di Bulan Ramadan Menurut Quraish Shihab
Kafrawi M.A., Ketua Dirjen Bimas Islam masa itu juga ikut angkat suara soal pengeras suara.
"Boleh lantang saat azan untuk masjid-masjid di kota, tapi setelah itu cukup didengar jamaah dalam masjid," anjur Kafrawi dalam arsip Kompas edisi 30 Mei 1978.
Ia menekankan penggunaan pengeras suara hanya untuk azan agar mengurangi antipati pada Islam.
Penulis : Ahmad-Zuhad
Sumber : Kompas TV