> >

Kenangan Ramadan Sekum Muhammadiyah Abdul Mu'ti , Puasa di Negeri Orang dan Kopiah dari sang Ayah

Cerita | 20 April 2021, 11:23 WIB
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Muti saat dihubungi dalam wawancara virtual terkait aksi serangan terorisme di Mabes Polri pada Rabu (31/3/2021). (Sumber: Kompas.TV )

JAKARTA, KOMPAS.TV - Belakangan, nama Abdul Mu’ti  ramai diperbincangkan semenjak namanya masuk ke dalam bursa calon Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di tengah isu perombakan kabinet. 

Sebelumnya, Abdul Mu’ti pernah menolak posisi  Wakil Menteri Kabinet Indonesia Maju pada perombakan kabinet akhir  2020 lalu,  karena merasa kapasitasnya belum cukup untuk mengemban amanah tersebut. 

Namun dalam dunia pendidikan dan organisasi kemasyarakatan,  pria kelahiran 2 September 1968 ini sudah lama malang melintang. Dia menjadi anggota Muhammadiyah sejak 1994. Sosoknya dikenal sebagai tokoh pemikir Muhammadiyah yang moderat dan toleran.

 Abdul Mu'ti pernah menjadi bagian dari anggota Dewan Indonesia dan Amerika Serikat pada Agama dan Pluralisme, dan masyarakat eksekutif Konferensi Asia Agama untuk Perdamaian. 

Kali ini, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang akrab disapa Mu’ti ini berbagi cerita Ramadan kepada KOMPAS TV.  

Bagi Mu’ti, pengalaman berpuasa Ramadan selalu berbeda dan berkesan setiap tahunnya. Namun, ia mengerucutkan pada tiga  pengalaman yang paling bermakna. 

Baca Juga: Ketika Perang Jawa Berakhir di Bulan Ramadan dan Pangeran Diponegoro Ditangkap

“Pertama, pengalaman puasa di kampung halaman dengan budaya desa dan keberagaman yang relijius,” kata Mu’ti saat dihubungi Jumat (16/4/2021) sore. 

Lalu yang kedua ialah pengalaman puasa di negeri orang. Mu’ti pernah menunaikan ibadah puasa saat tengah mengenyam pendidikan S2 di Flinders University, South Australia pada tahun 1996. 

“Saya berpuasa dalam masyarakat  sekuler. Di sini, komitmen dan kualitas iman memang benar-benar diuji,” kata Mu’ti. 

Mu’ti bercerita, saat itu Australia tengah berada di musim panas. Lama puasa bisa mencapai lebih dari 16 jam dengan suhu rata-rata di atas 30 derajat celcius. 

“Tidak ada kumandang adzan maghrib, panggilan sahur, dan suasana kultural sebagaimana di tanah air,” kenang Mu’ti. 

Penulis : Hasya Nindita Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU