Pandemi dan Ujian Skill Tingkat Dewa Menkeu Sri Mulyani
Ekonomi dan bisnis | 17 Juni 2020, 16:13 WIBKesulitan ekonomi sudah bukan menjadi “aroma” lagi, tetapi berwujud menjadi realita. Ayunan langkah Indonesia menghidupkan ekonomi yang mati suri selama Pembatasan Sosial Berskala Besar alias PSBB, makin berat.
Kesehatan manusia atau kesehatan ekonomi? Dilema yang harus sama-sama tuntas, karena tak sedikitpun berat sebelah.
Masalahnya, bagaimana menyelamatkan keduanya? Jumlah positif Covid tetap saja berjatuhan, dalam sehari bertambah sekitar 1.000 pasien positif. Tren grafik positif covid-19 yang naik ini justru berkebalikan dengan “brangkas” negara yang susut.
Tengok pendapatan pajak. Dari Januari sampai Mei lalu, penerimaan pajak baru Rp 444,6 triliun, turun 10,8% di bandingkan periode yang sama tahun kemarin. Padahal, target pajak sesuai APBN sampai Rp 1.254,1 triliun.
Dari satu komponen angka itu, terlihat jelas wajah ekonomi Indonesia. Masuk fase terberat. Inilah saat kemampuan alias “Skill Tingkat Dewa” Menteri Keuangan Sri Mulyani mendapat ujian berat.
Bagaimana rincian fase terberat itu? Begini penjelasan detailnya, realisasi pendapatan negara sampai 31 Mei 2020 adalah Rp 664,3 triliun. Sedangkan belanja negara mencapai Rp 843,9 triliun. Artinya, brangkas negara kurang Rp179,6 triliun alias defisit 1,1% dari PDB.
Hadapi Skenario Buruk
Mengutip keterangan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam “APBN Kita”, proyeksi APBN di tahun 2020 masih menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi antara negatif 0,4% hingga paling optimistis 2,3%.
Pendapatan negara sebenarnya bukan kendor, melainkan memang sumber penerimaan pajak sedang kejepit. Pinjaman jadi jalan pintas yang ditempuh pemerintah. Di periode yang sama, utang pemerintah sudah Rp 360,7 triliun, naik 123% secara tahunan.
“Secara umum kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami koreksi, namun masih cukup wajar dibandingkan negara-negara lain. Stabilitas makro dan confidence market akan terus kita coba pertahankan di dalam momentum mengembalikan pemulihan ekonomi terutama pada kuartal ketiga (Q3) ini,” tutur Sri Mulyani.
Untungnya, masih menurut Menkeu, berdasarkan hasil asessment terkini, terdapat indikasi bahwa kinerja di kuartal II lebih baik dibanding hasil asessment Mei 2020 dan itu memberikan optimisme bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh positif di 2020.
Akan tetapi, ekonom punya hitungan yang pesimistis. Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata memprediksi, pada kuartal II ini ekonomi Indonesia akan tumbuh negative 2%-3%.
“Data-datanya memperkuat bahwa kuartal II, growth berpotensi tumbuh negatif. Retail sales drop, automotive sales drop, inflasi rendah, indeks kepercayaan konsumen turun dalam, penjualan semen turun, impor turun tajam. Dan penyaluran bansos dan JPS pun belum efektif. Mudah-mudahan kuartal III lebih,” jelas Josua Kepada KompasTV.
Secara satu tahun penuh, Josua memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh antara 0% sampai 0,5%.
Fase terberat ekonomi, sudah pasti harus dijalani. Pemerintah meyakinkan, seluruh APBN akan fokus untuk mengurangi tekanan yang begitu hebat di kuartal II. Kini Indonesia masuk masa transisi, dari nyaris tak ada aktivitas, menjadi kegiatan ekonomi terbatas.
Indonesia tidak sendiri. Semua negara dihadapkan dengan “new normal ekonomi”. Negara adidaya Sekelas Amerika Serikat yang ekonominya USD 18 triliun saja, punya utang USD 21 triliun. Yang perlu disadari bersama, ekonomi Indonesia bisa bangkit, bergantung pada kedisiplinan tiap individu mematuhi protokol kesehatan. (Dyah Megasari, Jurnalis Kompas Tv)
Penulis : Zaki-Amrullah
Sumber : Kompas TV