Mendalami Kekayaan Alam dan Budaya Masyarakat Kolaka
Ekonomi dan bisnis | 17 November 2022, 20:00 WIBKOMPAS.TV – Kolaka merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara yang menyimpan beragam kekayaan alam dan budaya. Bandara Sangia Nibandera yang merupakan satu-satunya bandara di Kolaka merupakan salah satu hasil corporate social responsibility (CSR) dari PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di Kolaka.
Sugeng Haryono, Perencana Ahli Bandara Sangia Nibandera menjelaskan arti dari nama Sangia Nibandera, yaitu raja yang memiliki bendera. Nama tersebut digunakan di bandara ini sebagai penghargaan kepada seorang raja. Bandara ini dibangun tahun 2014 dan telah beroperasi sejak 7 September 2015.
Ada banyak perubahan yang terjadi setelah pembangunan bandara ini, terlebih manfaat yang dirasakan masyarakat sekitar. Keberadaan bandara ini banyak menyerap tenaga kerja, terutama di bidang perhubungan dan menjadi moda transportasi yang memudahkan masyarakat. Sugeng berharap, bandara ini dapat terus berkembang mengingat Antam melaksanakan kegiatan industrinya di daerah Kolaka.
Baca Juga: Menelusuri Proses Penambangan Batu Bara di Sumatra Selatan
Di sisi lain, Kolaka juga memiliki destinasi wisata unggulan yang memanjakan mata, yaitu Tamborasi. Pengunjung dapat menikmati dua destinasi wisata sekaligus di Tamborasi, yaitu pantai dan sungai.
Selain pantai berpasir putih yang cantik, di Tamborasi terdapat sungai dengan predikat sungai terpendek di dunia. Panjang dari hulu ke hilir sungai hanya berjarak 20 meter. Jadi, pengunjung bisa langsung melihat pertemuan arus antara hilir sungai dengan air laut. Suhu air sungai dan air laut ini juga berbeda. Jika air laut terasa sedikit hangat, sedangkan air sungai terasa dingin dan segar.
Kekayaan Budaya Kolaka
Selain mengunjungi destinasi wisata, terdapat kekayaan budaya yang ada di Kolaka, salah satunya tempat pelesarian budaya Kerajaan Mekongga. Pengunjung dapat melihat replika Rumah Adat Mekongga sebagai bentuk pelestarian budaya.
H. Muhammad Jayadin selaku Ketua Dewan Adat Mekongga menceritakan peninggalan apa saja yang ada di tempat ini. Uniknya, terdapat prosesi penyambutan tamu oleh masyarakat Kolaka yang harus diikuti oleh pengunjung.
Masyarakat Kolaka juga masih melakukan beberapa kebudayaan turun temurun, diantaranya mosehe. Kegiatan mosehe yang berarti penyucian dilakukan untuk menyatukan beberapa kelompok yang berselisih. Misalnya, perselisihan saat Pilkada sehingga dilakukan mosehe untuk membersihkan negeri secara keseluruhan maupun diri sendiri.
Ada juga mesosambakai, semacam akikah saat ada anak yang baru lahir. Kebiasaan ini dilakukan dengan harapan anak tersebut dapat bertumbuh sehat, terhindar dari hal-hal negatif, serta berbakti bagi nusa, agama, orang tua, dan daerah.
Jayadin juga menceritakan banyak sekali barang-barang peninggalan Kerajaan Mekongga, seperti keris emas peninggalan raja pertama, sarung yang konon dipakai raja ketika turun dari langit, serta mustika-mustika peninggalan raja dan ratu terdahulu.
Budaya lain yang masih dilestarikan yaitu tarian adat dari Kerajaan Mokongga. Tarian adat yang disebut tari ulo sangia dulunya dilaksanakan masyarakat memohon kesembuhan untuk sang raja. Tak ketinggalan, masyarakat sekitar masih melestarikan makanan khas Kolaka dan kain tenunnya.
Baca Juga: Dukungan Antam UBP Emas Pongkor kepada Masyarakat Kampung Cibuluh
Wakil Raja Mekongga Munaser menjelaskan lebih lanjut mengenai kain tenun khas Kolaka yang memiliki beragam motif. Motif tenun khas dari Mekongga ini antara lain motif bokioh dengan bentuk tumpal atau replika rumah asli raja. Teknik yang digunakan untuk membuat kain tenun disebut mohoro yang berarti menenun.
Konon, rumah adat yang hingga saat ini ada di Kolaka merupakan replika rumah asli dari raja terakhir. Pada 1940, rumah asli sang raja hanyut dan hancur di sungai sehingga dibuatlah replikanya. Pada 2002 diadakan seminar untuk merancang replika rumah ada dan mulai dibangun tahun 2003.
Penulis : Meirna-Larasati
Sumber : Kompas TV