Polemik Kenaikan Harga BBM Bersubsidi, Alasan Dibaliknya yang Dilematis
Kebijakan | 24 Agustus 2022, 13:28 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan penambahan subsidi bahan bakar minyak untuk pertalite dan biosolar tak terelakkan, apabila menuruti nafsu para pembakar pertalite dan biosolar. Beban subsidi bisa membengkak hingga Rp 198 triliun, manakala harga BBM tak dinaikkan.
Sementara para pembakar BBM bersubsidi itu tak pernah diketahui apakah memang berhak atau tidak menikmati subsidi yang diberikan pemerintah. "Nambah (subsidi), kalau kita tidak menaikkan (harga) BBM. Kalau tidak dilakukan apa-apa, tidak ada pembatasan, tidak ada apa-apa, maka Rp502 triliun tidak akan cukup. Nambah lagi bisa mencapai Rp698 triliun," kata Sri Mulyani seusai rapat kerja Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa (23/8/2022) lalu.
Rencana kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi mucul dari banyaknya pembakar pertalite dan biosolar yang disubsidi pemerintah. Borosnya penggunaan pertalite dan biosolar memunculkan kekhawatiran anggaran subsidi energi menggembung, bahkan membuat jebol APBN karena menanggungnya.
Menurut Sri Mulyani, harga minyak sempat turun tapi penurunan sangat tipis. Dengan konsumsi yang begitu boros, perkiraan subsidi harus ditambah setidaknya Rp198 triliun. Itupun tak akan cukup, jika tak dilakukan pembatasan.
Pernyataan Sri Muyani disikapi Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno yang menganggap perubahan peragkat hukum sebagai cara yang paling penting. Perangkat hukum itu adalah Peraturan Presiden 191 tahun2014 tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran bahan bakar minyak. Tujuannya, diketahui siapa yang berhak menerima BBM bersubsidi.
Baca Juga: PKS: Menteri Jangan Bikin Gaduh Soal Kenaikan Harga BBM Bersubsidi
“Kami di DPR sudah sampaikan agar itu segera direvisi. Ini suatu hal yang sangat penting, bahkan kita sudah mendetailkan pasal apa saja yang harus diubah terkait para pihak yang berhak menerima BBM bersubsidi. Dari situ juga kita bisa melakukan kontrol di lapangan dan penegakan hukum,” ujarnya dalam Program B-Talk KompasTV, Selasa (23/8/2022). Namun, Ia belum bisa menyebutkan lebih lanjut tentang pasal apa saja yang akan direvisi.
Eddy menilai, penggunaan BBM sudah pasti akan melampaui kuota yang ada. Opsi yang ada saat ini yaitu, menambah subsidi yang ada dan kompensasi, menaikkan harga, dan melakukan pembatasan penggunaan.
“Pembatasan penggunaan, dampak sosialnya tidak baik karena timbul antrean di SPBU. Menaikkan harga dampaknya menimbulkan inflasi, dan dampak daya beli. Tapi jangan sampai kemudian tidak ada keputusan. Kalau tidak ada keputusan yang menjadi korban Pertamina,” tuturnya.
Adapun, Anggota Dewan Energi Nasional Satya Widya Yudha menjelaskan, total anggaran subsidi energi sebesar Rp 502 triliun itu campuran antara BBM bersubsidi dan kompensasi BBM nonsubsidi. Perhitunganya didasarkan pada perubahan kurs dan fluktuasi harga minyak dunia.
“Volume pertalite yang ada sekarang tersisa 6 juta kiloliter. Kalau kita hitung sampai denga bulan Desember tidak akan mencukupi. Ini yang perlu dijaga sehingga pilihannya menambah volume tersebut atau melakukan perubahan harga. Itu yang bisa dilakukan,” jelas dia dalam kesempatan yang sama.
Namun demikian, terhadap risiko inflasi dan sebagainya tentu harus ada strategi untuk bantalan supaya mengantisipasi masyarakat yang terdampak. Satya menilai, subsidi yang tepat sasaran maka dilakukan pembatasan. Pembatasan yang tepat harus mempunyai payung hukum dulu agar tidak chaos (kacau)
“Kita itu sebetulnya masih mau mensubsidi harga atau mensubsidi ke orang-orang yang betul-betul membutuhkan untuk disubsidi? Kalau masih mensubsidi harga kita harus selalu kejar-kejara. Jika tidak, bantalan untuk masyarakat yang membutuhkan betul-betul dijalankan seperti BLT, dsb. Otomatis itu memerlukan data supaya lebih tepat sasaran,” tuturnya.
Penulis : Fransisca Natalia Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV