> >

Jangankan Gaji UMP, 80 Persen Buruh di NTT Tak Dapat THR Selama Puluhan Tahun

Ekonomi dan bisnis | 23 November 2021, 13:14 WIB
Kesulitan mendapatkan pekerjaan di NTT, ratusan pencari kerja naik kapal Pelni yang tiba di pelabuhan tertentu, seperti Larantuka. Mereka lalu berangkat ke Nunukan atau Batam, selanjutnya menyeberang ke Malaysia. (Sumber: Kompas.id/Kornelis Ewa Ama)

KUPANG, KOMPAS.TV – Sebanyak 36.160 orang dari total 45.200 atau sebesar 80 persen buruh di Nusa Tenggara Timur  tidak mendapat tunjangan hari raya setiap tahun.

Sementara, sisanya yakni 20 persen atau hanya 9.040 buruh yang mendapatkan tunjangan hari raya secara rutin dengan nilai yang kebanyakan tidak sesuai ketentuan. Hal ini diketahui sudah berlangsung puluhan tahun di NTT.

Masalah ini diungkapkan oleh Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Wilayah Nusa Tenggara Timur Stanislauf Tefa, dilansir dari Kompas.id pada Selasa (23/11/2021).

”Sesuai laporan dari 22 kabupaten dan kota di NTT, sebanyak 36.160 pekerja atau buruh tidak mendapatkan THR pada hari Natal dan Tahun Baru, Idul Fitri, dan hari raya keagamaan lain,” ungkap Tefa.

Ia meminta, perusahaan yang memiliki badan hukum agar memberikan THR kepada karyawan sesuai ketentuan. Jika upah minimum provinsi (UMP) NTT tahun 2021 senilai Rp 1.950.000, THR pun mestinya dibayarkan senilai itu.  

Namun kenyataannya, banyak buruh tidak mendapatkan THR. Pengusaha yang membayar pun hanya memberikan THR di kisaran Rp 300.000-Rp 1 juta. Selain itu, UPM yang sudah ditetapkan tersebut tidak disertai pengawasan  sehingga pengusaha sesukanya membayar upah karyawan.

Padahal, menjelang Natal dan Tahun Baru, para karyawan ini sangat sibuk bekerja, terutama mereka yang bekerja di pusat perbelanjaan.

Baca Juga: Tolak Keras Penetapan UMP 2022, KSPI Umumkan Dua Rencana Aksi Buruh Mogok dan Unjuk Rasa Nasional

Dibayar dengan makan, pengobatan bila sakit, dan tempat tinggal.

Sebagian pekerja rumah tangga tidak diupah sama sekali, hanya dijamin tidur di rumah majikan, makan minum, dan biaya pengobatan saat sakit.

Buruh sering kali juga diperlakukan tidak adil oleh majikan dengan mendapat kekerasan verbal, seperti caci maki saat yang bersangkutan melakukan kesalahan. Kondisi ini diterima dengan pasrah oleh para buruh.

Mereka tidak melaporkan majikan ke pihak berwajib, mengajukan kenaikan upah, atau mempersoalkan hal-hal buruk majikan karena takut dipecat atau kehilangan pekerjaan.

”Calon tenaga kerja yang antre ribuan orang. Satu dipecat masih ada ribuan menanti,” sebut Tefa.

Tak ada pengawasan

Tefa menilai, selama ini pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian THR dan UMP bagi buruh masih lemah.

Pengawasan ini adalah tanggungjawab Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemprov NTT, bukan oleh pemerintah kabupaten/kota. Sementara, jumlah tenaga pegawas hanya sekitar tujuh orang padahal kabupaten/kota yang diawasi mencapai 22 daerah.

Terlebih, meski pemerintah setiap tahun menerbitkan peraturan pembayaran THR, misalnya tahun 2021 terbit Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan di mana Pasal 9 mengatur kewajiban pengusaha untuk membayar THR, hampir sebagian besar pengusaha tidak memenuhi ketentuan itu.

Pemda juga belum memiliki cara menegakkan aturan terkait hak-hak buruh di lapangan. Selama sistem pengawasan lemah atau tidak jalan, berapa pun upah UMP yang ditetapkan pemprov dampaknya tidak ada bagi pekerja.

Baca Juga: Upah Buruh di Vietnam Naik, Samsung Mau Alihkan Produksi ke Indonesia

 

Penulis : Fransisca Natalia Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV/Kompas.id


TERBARU