> >

Peraturan Pemerintah tentang Produk Tembakau Didesak untuk Direvisi

Kebijakan | 5 Juni 2021, 19:31 WIB
Kemenko PMK sebut pengeluaran negara banyak digunakan untuk biaya kesehatan perokok. (Sumber: Pixabay)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Aturan pengendalian konsumsi produk tembakau yang berlaku saat ini dinilai masih amat lemah. Jumlah perokok anak terus meningkat dan jumlah penderita penyakit akibat rokok terus bertambah.

Oleh sebab itu, sejumlah pihak mendesak agar peraturan pemerintah tentang produk tembakau segera direvisi.

Ekonom Faisal Basri mengatakan, berbagai dampak buruk terjadi akibat konsumsi rokok tak terkendali, seperti jumlah kematian dan penyakit yang terus meningkat.

Akibatnya, beban kesehatan yang harus ditanggung dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) juga makin tinggi.

”Sekarang yang dibutuhkan adalah aksi. Bagi saya, Indonesia sudah darurat rokok. Hal pertama yang bisa dilakukan yakni dengan menaikkan tarif cukai. Tarif cukai yang sudah dinaikkan saat ini masih belum mencapai level optimum,” katanya, di Jakarta, Jumat (4/6/2021), dilansir dari Kompas.id.

Menurut Faisal, porsi cukai yang berlaku sekarang belum mengindikasikan harga rokok tidak terjangkau. Padahal, dengan menaikkan harga rokok, konsumsi rokok, terutama pada masyarakat miskin, bisa menurun tajam.

Baca Juga: Darurat Rokok, Jumlah Perokok Anak di Indonesia Terus Meningkat

Setiap 1 persen kenaikan harga rokok, hal itu mampu mengurangi kemampuan pembelian rokok pada masyarakat kelompok miskin minus 0,53 persen dan masyarakat kelompok kaya minus 0,13 persen.

Mitos

Berbagai mitos pun muncul untuk menghambat peningkatan harga rokok di Indonesia. Mitos yang banyak diserukan yakni, kenaikan harga rokok dapat merugikan petani tembakau.

Pada dasarnya, lanjut Faisal, kebutuhan tembakau lebih besar daripada produksi tembakau lokal sehingga semua produksi tembakau lokal pasti akan diserap oleh industri. Dengan diversifikasi serta alih tanam justru bisa meningkatkan pendapatan para petani.

Tak hanya itu, mitos kedua adalah dengan harga rokok tinggi akan meningkatkan rokok ilegal. Hal ini justru bisa menjadi bumerang bagi pemerintah.

Jika rokok ilegal marak, itu artinya pengawasan negara lemah untuk melindungi rakyatnya. Mitos lain, yakni penerimaan negara akan berkurang jika harga rokok dinaikkan.

”Tujuan pengenaan cukai yakni untuk mengendalikan konsumsi rokok. Sementara tugas hakiki negara adalah mendorong penciptaan nilai, bukan pengerukan nilai. Jadi, jangan sampai cukai ini malah mengorbankan kesehatan masyarakat,” tutur Faisal.

Adapun, Ketua Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) Universitas Muhammadiyah Magelang Retno Rusdjijati mengungkapkan sejumlah petani tembakau di Magelang telah berhasil melakukan diversifikasi pertanian dan beralih tanam. Dari hasil pembinaan yang dilakukan, para petani kini justru mendapat keuntungan lebih besar.

Sementara, menurut Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan menilai,  PP No 109/2012 masih relevan dengan kondisi saat ini sehingga belum perlu ada revisi.

Apabila dilakukan revisi, hal itu dapat memperburuk kondisi usaha industri hasil tembakau yang sudah terpuruk akibat kenaikan cukai yang diberlakukan pada 2020 dan 2021.

”Pemerintah sebaiknya lebih dahulu melakukan kajian atau evaluasi pemberlakuan PP No 109/2012, salah satunya terkait edukasi. Kami melihat pemerintah belum melakukan upaya konkret dalam mencegah perokok anak,” katanya.

Baca Juga: Petani Tembakau Kian Tertekan, Pemerintah Diminta Buat Regulasi Terkait Perlindungan

 

Penulis : Fransisca Natalia Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU