Tax Amnesty Masuk Kebijakan Perpajakan 2022, Dua Skema Ini Ditawarkan Kemenkeu
Ekonomi dan bisnis | 1 Juni 2021, 13:33 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Menteri Keuangan Sri Mulyani memasukkan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II ke dalam pokok substansi reformasi administrasi dan kebijakan perpajakan 2022. Hal itu dipaparkan Sri Mulyani saat rapat bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR pada Senin, (31/05/2021).
Menurut Sri Mulyani, tax amnesty diperlukan untuk menciptakan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melaporkan atau mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela.
Ada 2 skema yang disiapkan Kemenkeu untuk wajib pajak yang ingin mengikuti tax amnesty. Yaitu dengan pembayaran PPh (pajak penghasilan) dengan tarif lebih tinggi dan tarif tertinggi pengampunan pajak, atas pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya diungkapkan dalam pengampunan pajak.
Baca Juga: Anggota DPR Ramai-ramai Tolak Tax Amnesty II Usulan Pemerintah
Yang kedua adalah pembayaran PPh dengan tarif normal atas pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT tahunan OP tahun pajak 2019.
"Tanpa pengenaan sanksi dan diberikan tarif yang lebih rendah apabila harta tersebut diinvestasikan dalam surat berharga negara (SBN)," kata Sri Mulyani.
Sebelumnya, Ketua Banggar DPR Said Abdullah sudah menolak rencana pemerintah menjalankan tax amnesty jilid II. Lantaran, program itu baru saja dilakukan pada 2016. Jika dilakukan lagi tahun depan, jaraknya terlalu dekat dan justru semakin mengurangi kepatuhan wajib pajak.
Namun, jika pemerintah memberlakukan sunset policy, Said mendukungnya. Sunset policy adalah
penghapusan sanksi perpajakan bagi wajib pajak, yang selama ini belum melaporkan harta mereka dalam surat pemberitahuan pajak tahunan (SPT).
Baca Juga: Tolak Tax Amnesty Jilid II, Pengusaha: Negara Lain Pendapatannya Juga Ancur-ancuran
Said menilai, Sunset policy dianggap lebih aman dan berkelanjutan untuk dimasukkan di dalam kerangka konsolidasi kebijakan fiskal tahun 2022.
Karena tarif sunset policy sebesar 15 persen -17,5 persen dari penghasilan wajib pajak yang belum dilaporkan. Sedangkan tarif tebusan tax amnesty hanya 2 persen.
"Bukan hanya tidak efektif, (tapi memang tax amnesty) tidak boleh dilakukan," kata Said kepada awak media, Kamis (20/05/2021).
Penolakan tax amnesty jilid II juga datang dari
pengusaha Kadin Indonesia. Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kadin Indonesia, Herman Juwono mengatakan, jika tax amnesty jilid II diadakan tahun 2022, akan menjadi tidak adil bagi para peserta tax amnesty 2016-2017.
“Dulu sempat tahun 1986, kemudian ada lagi tahun 2016. Jadi kalau tahun depan terlalu cepat. Kalau ada tax amnesty lagi nanti bakal diketawain negara lain, negara lain pendapatannya juga ancur-ancuran tapi tidak ada rencana tax amnesty,” kata Herman seperti dikutip dari Kontan.co.id, Kamis (20/05/2021).
Baca Juga: Cegah Predatory Pricing, Mendag Lutfi Terbitkan Aturan Diskon Toko Online Bulan Ini
Ia menilai, tax amnesty jilid II bukanlah satu-satunya cara untuk mendongkrak penerimaan. Jika pemerintah berhasil menangani pandemi, penerimaan negara akan membaik dengan sendirinya. Apalagi sekarang sudah ada UU Cipta Kerja yang memudahkan investasi.
Sekalipun diadakan, ia memperkirakan uang yang terkumpul dari pengampunan pajak jilid II hanya mencapai Rp100 triliun atau tidak jauh berbeda dari 2016-2017. Angka itu sangat tidak cukup untuk menutup defisit APBN 2021 maupun 2022.
“Jadi pemerintah harus fokus pemulihan ekonomi dulu, kalau membaik maka penerimaan pajak juga akan terakselerasi,” ujar dia.
Penulis : Dina Karina Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV