Bandara Terbesar Kedua di Indonesia jadi Bengkel Pesawat, Pengamat: Jadi Gedung Kesenian Saja
Ekonomi dan bisnis | 31 Maret 2021, 10:07 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Sejak diresmikan pada 2018, Bandara Kertajati terus sepi penumpang. Maskapai terakhir yang bertahan beroperasi di Kertajati, adalah Citilink. Tak ingin bandara yang disebut terbesar kedua di Indonesia itu sia-sia, Presiden Jokowi memutuskan Kertajati akan jadi bengkel pesawat.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menyatakan, Bandara Kertajati adalah contoh infrastruktur yang dibangun dengan unsur politis yang lebih kental dibanding unsur studi kelayakannya.
Saat Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan atau Aher mengatakan ingin membangun Bandara Kertajati di tahun 2011, Agus sudah mengungkapkan ketidaksetujuannya.
Baca Juga: Dibangun dengan Uang Triliunan, Bandara Kertajati akan Jadi Bengkel Pesawat
"Waktu itu saya diundang makan di rumahnya (Aher). Saya bilang Kertajati jauh dari mana-mana, nggak cocok dijadikan bandara. Jarak Bandung-Kertajati sekitar 100 kilometer atau kurang lebih 2 jam perjalanan, ya mending mereka ke Cengkareng (Bandara Soetta)," kata Agus kepada Kompas.TV, Selasa (30/03/2021).
Agus bercerita, saat itu Pemprov Jabar sudah kewalahan membangun Kertajati yang butuh dana lebih dari Rp 2 triliun, akhirnya pemerintah pusat pun membantu.
Pembangunan Bandara Kertajati juga sempat ditolak oleh Menteri Perhubungan saat itu, Ignasius Jonan. Kemudian pembangunannya saat Budi Karya Sumadi menjadi Menhub.
Baca Juga: Bandara Kertajati Belum Optimal, Ridwan Kamil Bongkar Penyebabnya
Kini, pemerintah ingin menjadikan Bandara Kertajati sebagai Maintenance, Repair, Overhaul (MRO) atau bengkel pesawat. Dengan tetap melayani penumpang, kargo, dan jamaah umrah serta haji. Namun menurut Agus, semua rencana itu tidak ada yang berprospek bagus.
"Buat MRO harus ada lisence pabrikan, memangnya bikin pabrik bajaj. Lalu yang kedua, siapa yang mau modalin jadi MRO? Jadi pabrik (kue) klepon saja mahal saat ini. Lalu pesawat mana yang mau ke MRO di Kertajati? Boeing, Airbus, dan lain-lain pasti menolak secara ekonomis," ujar Agus.
Penulis : Dina Karina Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV