Perjuangan Velmariri Bambari Penjarakan Pelaku Kejahatan Seksual yang Berlindung di Balik Hukum Adat
Bbc indonesia | 21 Juli 2022, 23:58 WIBVelmariri Bambari adalah ibu rumah tangga dan satu-satunya pendamping korban kasus kekerasan seksual di Lembah Bada, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Dia berjuang mendobrak hukum adat demi memenjarakan pelaku kejahatan seksual sekaligus mencari keadilan bagi para korban.
Peringatan: Artikel mengandung materi tentang kejahatan seksual yang dapat membuat Anda merasa tidak nyaman.
Dengan kruk yang setia menopang tubuhnya untuk berjalan, Velmariri Bambari begitu gesit menemui para Majelis Adat di kampungnya. Ini tugas yang sulit, tetapi harus dilakukannya.
Velma, demikian dia biasa disapa, berupaya membujuk para anggota Majelis Adat untuk menghapus denda 'cuci kampung' yang dijatuhkan pada keluarga korban kekerasan seksual, menurut hukum adat.
Sanksi adat 'cuci kampung' dijatuhkan kepada pelaku kejahatan yang dianggap telah mengotori nilai-nilai adat yang dijunjung tinggi masyarakat setempat.
Kekerasan seksual, di wilayah ini kerap kali dilihat sebagai perbuatan zina, sehingga baik pelaku maupun korban kejahatan seksual dijatuhi sanksi adat yang sama.
"Sudah menjadi korban, anak-anak ini harus didenda," kata Velma, yang tahun ini berusia 42 tahun.
Langkah Velma terhitung berani. Seorang diri, perempuan yang mengaku taat pada adat ini "mendobrak" aturan-aturan yang sejak kecil menjadi nilai penting dalam hidupnya.
Baca juga:
- Dilecehkan saat usia dini, korban kekerasan seksual di Indonesia menderita puluhan tahun
- Remaja 14 tahun diperkosa dan dijadikan budak seks di Bandung, 'darurat kekerasan seksual pada anak' yang terus berulang
- Korban revenge porn: 'Saya berkali-kali mencoba bunuh diri'
"Tiga belas tahun! Ya, saya segera ke Polsek," raut wajah Velma memerah karena marah setelah menerima panggilan telepon tersebut.
Dia bergegas mengeluarkan sepeda motor dan memacunya ke Polsek Lore Selatan, yang terletak tak jauh dari rumahnya di Desa Gintu, Lembah Bada, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.
Kruk digenggamnya dengan erat selama motor melaju.
Sesampainya di Polsek, Velma menghampiri korban dugaan kekerasan seksual yang duduk meringkuk di kursi plastik yang disediakan.
Ibu dan bibi korban, yang menemani pelaporan itu, terisak dan menangis histeris. Kejadian tersebut baru dilaporkan beberapa jam yang lalu.
"Pak, boleh kami ke belakang?" tanya Velma kepada petugas yang mencatatkan laporan itu.
Di halaman belakang Polsek Lore Selatan, remaja 13 tahun itu mendekap erat Velma, sambil terisak tanpa henti. Sementara Velma membisikkan kata-kata untuk menguatkan koban.
Ini adalah kasus kesembilan yang akan ditangani Velma dan perkara kekerasan seksual ketiga yang terjadi pada tahun ini di Lore Selatan.
Kasusnya kini ditangani oleh Polres Poso, dan korban untuk sementara tinggal di lokasi rahasia demi keselamatannya.
Sang ibu, sebut Velma, mengatakan bahwa pelaku terus mengirim pesan singkat bernada ancaman kepada korban.
Hingga Juli 2022, terdapat 26 kasus kekerasan seksual di Kabupaten Poso tahun ini, menurut situs Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak. Velma mendampingi dua di antaranya, yang terjadi di Lore Selatan.
Kedua korban yang didampingi Velma itu masih anak-anak. "Satu di antaranya anak difabel berusia 15 tahun," kata Velma.
Ini membuat dia sangat marah. Nalarnya tak mampu lagi mendeskripsikan kejahatan yang dilakukan pelaku yang berusia 60 tahun.
Telepon pertama dari polisi
Sekarang, bila ada kasus kekerasan seksual dilaporkan ke Polsek Lore Selatan, Velma menjadi orang pertama yang akan ditelepon polisi untuk mendampingi korban, kata dia.
Ini terjadi sejak 2018, ketika Velma memperkenalkan diri sebagai aktivis perlindungan perempuan di desanya.
Empat tahun sebelumnya, pada 2014, Velma bergabung dengan Institut Mosintuwu, sebuah organisasi nirlaba di Poso.
Selain menggelar pelatihan perlindungan anak dan perempuan - yang diikuti Velma selama tiga tahun - organisasi ini juga berfokus pada upaya perdamaian dan keadilan pada saat konflik dan pascakonflik di wilayah Kabupaten Poso dan sekitarnya.
Sebuah kejadian menggugah nuraninya sebelum dia bergabung dengan Instistut Mosintuwu. Di desanya, terjadi peristiwa pemerkosaan.
"Anak itu diperkosa, lalu putus sekolah, para pelaku dikenakan sanksi adat tapi tidak dipidanakan," jelas Velma.
Velma yang kala itu mengaku tidak bisa berbuat apa-apa, merasa tidak berdaya.
"Saya tidak punya pegangan [bekal pengetahuan] kala itu," katanya.
Setelah menempuh pelatihan, Velma memberanikan datang ke Polsek Lore Selatan untuk pertama kali dalam hidupnya pada 2018.
Polisi meneleponnya untuk mendampingi korban kekerasan seksual yang tengah melapor.
Di kantor polisi, Velma mengaku terkejut mendengar pertanyaan-pertanyaan yang diajukan polisi kepada korban saat pemeriksaan.
"Saya hidup dalam masyarakat adat, pertanyaan tentang itu [perkosaan] adalah tabu bagi saya yang juga seorang ibu.
"Apalagi ditanyakan kepada korban yang masih anak-anak," kata Velma. "Korban pemerkosaan itu baru berusia 15 tahun."
Tak hanya mendampingi korban ketika proses penyusunan berita acara pemeriksaan oleh polisi, Velma juga hadir hingga hakim memutuskan pelaku bersalah di pengadilan.
Tidak berhenti di situ, hingga kini Velma juga masih mendampingi para korban yang kasus hukumnya telah diputus pengadilan.
Mengawal proses pemulihan
Pagi di Desa Gintu begitu ramai. Para tetangga memasang musik kencang hingga suaranya sampai ke rumah Velma.
Dapur Velma berselimut asap yang berasal dari tungku kayu bekas memasak air dan ubi yang masih membara.
Ubi rebus dan kopi dengan sedikit gula adalah sarapannya setiap hari bersama suami dan anak-anaknya.
Setelah suaminya pamit bekerja sebagai pengolah sawah, Velma mempersiapkan diri untuk pergi ke desa tetangga. Dia hendak menemui korban ketiga yang ia dampingi kasusnya dua tahun lalu.
Velma ingin memastikan bahwa proses pemulihan berjalan dan korban bisa bangkit dari keterpurukan.
Korban diperkosa pada 2020 lalu. Kala itu, korban diajak pergi oleh kerabat sang ayah. Pelaku mengaku disuruh ayah korban untuk menjemputnya.
"Anak ini langsung percaya dan mereka pergi," kata ayah korban kepada Silvano Hajid, wartawan BBC News Indonesia.
Sang ayah gelisah karena anaknya belum pulang hingga pukul 21.00 WITA. Namun, kegelisahan itu berubah menjadi rasa patah hati yang teramat dalam.
Penulis : Redaksi-Kompas-TV
Sumber : BBC