Klitih, 'Tradisi' Pertikaian Antar-Pelajar yang Berkembang Jadi Kejahatan Jalanan
Bbc indonesia | 9 April 2022, 13:54 WIBSuatu malam pada 2017, Bobi --bukan nama sebenarnya-- tengah dalam perjalanan pulang dari kampusnya di Yogyakarta.
Dia berboncengan menggunakan sepeda motor dengan temannya. Waktu menunjukkan pukul sebelas malam, namun jalanan masih cukup ramai.
Bobi berhenti di sebuah lampu merah. Masih 40 detik tersisa sampai lampu merah berganti menjadi hijau. Tiba-tiba, delapan motor yang ditumpangi 16 orang mendekatinya.
"Aku sudah feeling, ini kayaknya rombongan enggak beres. Waktu itu aku diserang, sempat melawan karena yang turun cuma tiga orang, yang lainnya nunggu di atas motor," kenang Bobi ketika diwawancara BBC News Indonesia.
"Karena sudah kalah jumlah aku jatuh ke trotoar, aku dipukulin, disabet pakai pisau belati dan kena bagian kepala belakang," lanjut Bobi.
Sedangkan temannya mengalami luka yang lebih parah. Wajahnya tersabet pisau cutter yang hampir mengenai bola matanya.
Saat itu tidak ada orang sekitar yang berani membantu Bobi dan temannya. Setelah berdarah-darah, mereka ditinggal begitu saja oleh para pelaku. Tidak ada barang berharga yang dirampas.
Baca juga:
- Cara-cara yang efektif melawan perundungan di sekolah
- 'Mereka direkrut di halaman sekolah' - Gadis-gadis Rumania dijual sebagai budak seks di Inggris
- Buntut tewasnya mahasiswa UNS: Dua tersangka, Mendikbud didesak bubarkan Menwa
Bobi dan temannya kemudian menyelamatkan diri ke salah satu minimarket. Setelah itu, mereka bergegas ke kantor polisi terdekat untuk membuat laporan.
Belum lama di kantor polisi, mereka lalu mendengar ada laporan masuk melalui handy talky milik polisi bahwa kejadian yang baru saja menimpa mereka juga terjadi di lokasi lain yang tidak jauh dari tempat mereka diserang.
"Waktu itu petugas di lapangan yang melapor menyebut salah satu jenis motor, saya langsung bilang ke polisi, 'Pak, itu pelaku yang juga nyerang kami'."
Malam itu juga, 16 penyerang Bobi ditangkap. Di kantor polisi, Bobi melihat langsung bahwa pelaku terdiri dari pelajar SMP, SMA, serta berusia 30 tahun.
"Aku sempat tanya [kenapa mereka menyerang]. Jawabannya ngeselin sih, karena iseng. Iseng kok begini," ujar dia.
Bobi meyakini kelompok yang menyerangnya pada malam itu adalah "klitih", istilah yang kini kerap digunakan masyarakat Yogyakarta atas kejahatan jalanan dengan motif mencari musuh dan melumpuhkan lawan.
Pola penyerangan 'semakin acak'
Bobi sendiri sebetulnya tidak asing dengan klitih. Ketika masih duduk di bangku SMA, beberapa teman satu angkatannya di sekolah banyak yang bergabung dengan kelompok klitih.
Namun pada saat itu, aksi saling serang hanya teradi antar-pelajar dari sekolah yang bermusuhan. Permusuhan ini telah terjadi sejak lama dan berlangsung turun temurun.
Oleh sebab itu, penyerangan malam itu membuat Bobi bertanya-tanya: mengapa dia menjadi korban penyerangan?
"Yang bikin kaget semakin ke sini pola penyerangannya semakin acak ke korban dan mereka berani bawa senjata tajam. Zaman aku SMA paling mentok pukul-pukulan helm atau pakai kayu, tapi sekarang pakai senjata tajam," kata Bobi.
Pada Minggu (03/04), Yogyakarta kembali digemparkan oleh tewasnya seorang pelajar kelas 2 SMA yang menjadi korban klitih bernama Daffa Adzin Albasith, yang merupakan putra dari anggota DPRD Kebumen, Makdhan Anis.
Daffa meninggal karena luka di kepala setelah terkena kibasan gir. Itu terjadi ketika korban dan teman-temannya mengejar pelaku yang memancing mereka dengan sengaja menarik gas di dekat motor mereka.
Peristiwa itu kembali memantik keresahan warga di Yogyakarta akan aksi klitih yang terus berulang. Pada akhir 2021, keresahan akan hal ini juga telah menggema di media sosial dengan tagar #JogjaDaruratKlitih.
Pada 2021, Polda DIY mencatat terjadi 58 kasus kejahatan jalanan. Jumlahnya meningkat enam kasus apabila dibandingkan dengan tahun 2020.
Apa itu klitih dan mengapa kini erat dengan kejahatan jalanan?
Pakar sosiologi kriminal dari Universitas Gadjah Mada, Suprapto, mengatakan klitih sebetulnya berarti sebagai kegiatan mengisi waktu luang dengan makna yang positif.
Suprapto -yang pernah meneliti mengenai klitih pada 2004-2009—mengatakan istilah "klitih" kemudian diadopsi oleh pelajar di Yogyakarta sebagai kegiatan mencari musuh.
Pertikaian antar-SMA di Yogyakarta, menurut dia, telah terjadi sejak lama dan terus langgeng dari generasi ke generasi. Pertikaian itu memunculkan solidaritas almamater dan diwujudkan dalam bentuk pertikaian, dulunya berupa tawuran antar-pelajar.
Pada 2004-2005, Pemerintah Kota Yogyakarta kemudian menerbitkan aturan bahwa pelajar yang terlibat tawuran akan dikeluarkan dari sekolah. Banyak pelajar sadar dan enggan diajak tawuran.
"Karena sulit mengajak teman-temannya untuk tawuran, pelajar yang kecewa, yang tidak bisa berprestasi, ingin unjuk diri, maka pelampiasannya dengan menunjukkan kekuatan fisik," tutur Suprapto kepada BBC News Indonesia.
Kekuatan fisik itu kemudian mereka tunjukkan dengan keluyuran menggunakan sepeda motor dengan tujuan mencari musuh.
"Tetapi kan mereka enggak mungkin mau pamitan mencari musuh, maka mereka menggunakan terminologi klitih. Tapi karena tujuannya mencari musuh ujungnya menjadi kejahatan yang dilakukan di jalanan," jelas dia.
Sejak saat itu lah, kata "klitih" mengalami pergeseran makna menjadi negatif.
'Tradisi' turun temurun
Marsel -bukan nama sebenarnya— mengatakan bahwa klitih sudah menjadi "tradisi" turun temurun di SMA di Yogyakarta. Marsel sendiri pernah menjadi bagian dari kelompok klitih di sekolahnya pada era 2007 hingga 2008.
Ketika baru duduk di bangku kelas 1 SMA, kakak kelas yang tergabung dengan kelompok klitih telah memetakan adik-adik kelasnya untuk direkrut.
"Begitu dikumpulin semua jadi satu, sudah ada list-nya SMA musuh yang mana. Kalau enggak mau masuk geng, kalau suatu saat terkena klitih ya enggak bakalan dibantu," kata Marsel kepada BBC News Indonesia.
Penulis : Vyara-Lestari
Sumber : BBC