BPJS Kesehatan Jadi Syarat Bikin SIM sampai Jual Beli Tanah, Disebut Tidak Relevan dan Membebani
Bbc indonesia | 21 Februari 2022, 18:34 WIBPer 1 Maret 2022, pemerintah mewajibkan lampiran keanggotaan BPJS Kesehatan bagi masyarakat yang ingin mengurus jual beli tanah. Kalangan warga menilai hal itu tidak relevan dan anggota DPR RI mengatakan itu hanya membebankan masyarakat.
Peraturan baru itu sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 untuk mengoptimalkan manfaat BPJS Kesehatan kepada seluruh masyarakat Indonesia, yang ditandatangani Presiden Joko Widodo sejak 6 Januari 2022.
Sebanyak 30 kementerian dan lembaga diminta untuk melakukan percepatan terhadap rekrutmen peserta BPJS Kesehatan.
Sampai 2022, BPJS Kesehatan mencatat capaian rekrutmen pesertanya mencapai 86% atau sekitar 230 juta jiwa. Artinya ada 14% atau sekitar 40 juta jiwa yang belum mendaftar menjadi anggota BPJS Kesehatan.
Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma'ruf mengatakan inpres tersebut bertujuan untuk "memastikan semua penduduk, tanpa terkecuali, bisa masuk ke dalam skema jaminan kesehatan nasional".
BPJS Kesehatan juga menyatakan peraturan itu sejatinya bukan untuk mempersulit.
Namun, cara tersebut dinilai Anggota DPR RI Komisi IX Kurniasih Mufidayati justru malah "menambah beban masyarakat" karena berdampak pada proses administrasi banyak hal sehingga "menyulitkan masyarakat untuk mengakses layanan publik".
Di sisi lain, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, tidak mempermasalahkan aturan itu, tapi dia mendesak BPJS Kesehatan juga harus meningkatkan pelayanan yang baik dan nyata agar aturan baru itu memiliki dampak yang lebih baik.
"Jangan sampai kita dituntut untuk patuh sana-sini, naikin iuran, tapi pelayanannya juga enggak berjalan," ujar Timboel.
Selain mengurus jual beli tanah, syarat keanggotaan aktif BPJS Kesehatan juga diberlakukan dalam pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), sampai menjadi persyaratan untuk calon jemaah haji dan umrah.
Baca juga:
- Data ratusan juta peserta BPJS Kesehatan diduga bocor, 'otomatis yang dirugikan masyarakat'
- Perpres iuran BPJS Kesehatan yang naik akan digugat ke MA: 'Kalau BPJS nunggak, nyawa kami taruhannya'
- Bidan kaum pinggiran, menolong ibu hamil sampai merawat pasien stroke
Hilangnya kepercayaan dan masalah lainnya
Fahmi (bukan nama sebenarnya) adalah salah satu orang yang tidak mendaftar BPJS Kesehatan di usianya yang sudah melampaui 40 tahun. Tapi, Fahmi memiliki asuransi kesehatan swasta yang bisa dia gunakan untuk berobat.
Aturan baru soal kewajiban menjadi anggota aktif BPJS Kesehatan untuk mengurus SIM, STNK, sampai jual beli tanah, membuat Fahmi terkejut, apalagi berita itu muncul saat perdebatan soal Jaminan Hari Tua (JHT) masih belum selesai.
"Ya keberatan sih. Kayak mengada-ada (aturan keanggotaan BPJS untuk jual beli tanah) gitu. Kalau punya tanah untuk investasi kan ada syarat NPWP, kalau itu masih masuk akal. Kalau BPJS Kesehatan apa? Kok jadi aneh?" kata Fahmi.
Dari semua anggota keluarga, Fahmi mengatakan hanya ayahnya yang memiliki BPJS Kesehatan. Pasalnya, mereka tidak puas dengan pelayanan BPJS Kesehatan yang dinilai lebih lama dan kerap mendapat diskriminasi di rumah sakit.
"Pelayanannya ribet ketika harus berobat, harus ke sini dulu, baru direkomendasikan ke rumah sakit ini, belum lagi antrenya, belum lagi pelayanan dari nakes-nakesnya," ujar Fahmi. Kepercayaan Fahmi dan keluarga semakin luntur ketika BPJS Kesehatan mengaku sempat terlambat membayarkan klaim pelayanan kesehatan kepada rumah sakit pada 2019 lalu karena dana tak cukup.
"Itu jadi membuat masyarakat tidak percaya dengan aturan-aturan itu dan justru membuat kita jadi menduga-duga ke mana dana yang ada di BPJS itu? Apa digunakan untuk yang lain? Terlepas benar atau tidak, tapi praduga itu pasti ada," kata Fahmi.
Sementara itu, Timboel Siregar membenarkan masih banyak komplain masyarakat terkait pelayanan BPJS Kesehatan. Dia mengatakan masih ada pasien yang diminta pulang dalam kondisi belum layak pulang, sampai pasien yang diminta membeli obat sendiri padahal itu seharusnya sudah masuk ke dalam paket yang dibayarkan BPJS Kesehatan kepada rumah sakit.
Belum lagi soal pendataan keanggotaan yang masih bermasalah, seperti pendataan penerima bantuan iuran (PBI)—yang dilakukan oleh Kementerian Sosial— yang tidak tepat sasaran sampai pekerja formal atau pekerja penerima upah yang belum didaftarkan sebagai anggota oleh perusahaannya.
"Masih banyak juga pengusaha yang mendaftarkan pekerja penerima upahnya sebagai peserta PBI daerah. Ini juga enggak tepat, menghindari 4% pembayaran dari pengusaha, satu persen dari pekerja. PBI itu untuk rakyat miskin," kata Timboel.
Kurniasih mengatakan permasalahan keanggotaan PBI ini justru lebih krusial dibandingkan dengan jumlah peserta yang belum mencapai 100 persen. Kata dia, itu optimalisasi yang seharusnya dilakukan.
"Justru hal-hal seperti ini yang harus dibuat regulasinya, yang menjamin bahwa setiap rakyat Indonesia yang tidak mampu harus masuk menjadi peserta BPJS dan di-cover oleh negara," ujar Kurniasih.
BPJS Kesehatan harus berbenah
Kurniasih Mufidayati mengatakan pemerintah masih bisa melakukan cara lain yang tidak membebani masyarakat karena menurut dia jumlah masyarakat yang belum terdaftar di BPJS Kesehatan tidak terlalu signifikan untuk kemudian pemerintah bisa menerapkan aturan tersebut.
"Kepesertaan BPJS Kesehatan ini memang harus dioptimalkan, betul, tetapi harus dengan cara yang tidak menambah beban, lebih edukatif, dan lebih mengajak," kata Kurniasih.
Anggota DPR RI Fraksi PKS itu menilai justru yang harus diperhatikan pemerintah adalah cara untuk meningkatkan kualitas layanan BPJS Kesehatan.
"Kalau layanannya meningkat, layanannya baik, pembayaran klaim lancar, faskes bisa survive memberi pelayanan lebih baik, saya rasa kepesertaan yang tinggal 20 persen itu bisa terpenuhi," ujar Kurniasih.
Senada dengan Kurniasih, Timboel juga setuju bahwa BPJS Kesehatan harus terus melakukan perbaikan karena masalah yang sudah ada bertahun-tahun ternyata masih diadukan masyarakat.
Dia mengatakan sebenarnya lembaga-lembaga pengawas BPJS Kesehatan sudah melakukan pengawasan dan evaluasi, serta mengantongi berbagai temuan masalah dalam pelaksaan JKN, tapi temuan itu tidak dipublikasi dan tidak jelas apakah sudah ada perbaikannya atau belum.
"Buka temuannya apa. Jangan sampai dari 2014 sampai 2021 temuannya sama, tapi tidak ada perbaikan. Kan itu sudah membuang-buang uang negara."
Oleh sebab itu, Timboel mendesak BPJS Kesehatan bersikap transparan karena rakyat yang menjadi peserta "berhak mendapatkan informasi terkait program yang diikutinya", mulai dari manfaat yang didapatkan sampai akar dari permasalahan yang dihadapi di lapangan.
Dia juga pernah menyarankan BPJS Kesehatan meniru cara kerja asuransi swasta yang melayani dan membantu peserta dengan baik. Sehingga ketika pasien mengalami masalah, BPJS Kesehatan bisa mewakili pasien menghadapi pihak rumah sakit.
"BPJS Kesehatan harus hadir 7x24 jam di rumah sakit, tapi BPJS Kesehatan selalu bilang, 'kami punya keterbatasan waktu, keterbatasan SDM, dan biaya'," kata Timboel.
Iqbal mengatakan saat ini BPJS Kesehatan terus melakukan perbaikan. BPJS Kesehatan juga mendorong fasilitas kesehatan untuk meningkatkan pelayanan.
"Kalau dibilang tidak ada perbaikan, perlu dicek lagi apakah dia pernah mendapatkan layanan. Kalau orang antre di rumah sakit, misalnya, kan bagian dari untuk mendapatkan layanan, makanya kita memastikan dengan mengakomodir antrean online," kata Iqbal.
Dia juga mengatakan BPJS Kesehatan saat ini memiliki kemampuan finansial yang baik. Hal itu dibuktikan dengan tidak ada masalah lagi dalam pembayaran fasilitas kesehatan sehingga arus kas BPJS Kesehatan mengalami surplus pada 2020.
"Kalau ada yang terlambat karena rumah sakit yang terlambat mengajukan klaim ke BPJS Kesehatan," kata Iqbal.
Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV
Penulis : Edy-A.-Putra
Sumber : BBC