"Wadas seperti Desa Mati", Warga yang Kontra "Lari ke Luar Desa Hindari Intimidasi"
Bbc indonesia | 11 Februari 2022, 18:11 WIBMasyarakat Desa Wadas, Jawa Tengah, yang menolak melepas kepemilikan tanah untuk pertambangan andesit, mengatakan mereka masih merasakan intimidasi aparat, dua hari setelah penangkapan massal terhadap warga penolak proyek strategis nasional itu.
Situasi panas di Wadas terjadi karena pemerintah memaksakan proyek yang dirancang tanpa konsultasi dan persetujuan masyarakat lokal, kata pegiat hak asasi manusia.
Meski pro dan kontra belum tuntas, pemerintah pusat menyatakan akan tetap melanjutkan pembangunan Bendungan Bener yang berstatus proyek strategis nasional di Kabupaten Purworejo tersebut.
Baca juga:
- Warga Desa Wadas dikepung: 'Gesekan' antar warga yang setuju dan menolak atau 'pembungkaman'?
- Mengapa konflik agraria terus terjadi meski pemerintah klaim mereformasi sektor pertanahan?
- Petani 75 tahun divonis bersalah usai tebang pohon jati yang ditanam sendiri, mengapa konflik agraria sasar 'orang-orang kecil'?
Kondisi Wadas, Kamis (10/02), belum tenang meski kepolisian telah melepas 67 penolak proyek yang mereka tangkap Selasa lalu (08/02). Aparat, baik yang berseragam maupun tidak, saat ini masih bersiaga di Wadas.
Sejumlah warga Wadas memutuskan untuk mengungsi keluar desa demi menghindari intimidasi dan paksaan aparat.
Sulaiman adalah salah satu orang yang memilih tidak pulang ke Wadas setelah dipulangkan dari kantor Polsek Purworejo. Dia cemas akan mendapat paksaan untuk menyetujui alih kepemilikan tanah kepada pemerintah.
"Kondisi hari ini sangat menakutkan sekali, jadi warga mencari keamanan masing-masing, ada yang ke hutan atau yang penting tidak di Wadas," kata Sulaiman.
"Tadi malam ada rombongan orang bermotor berkeliling desa sambil berkoar-koar supaya warga mengumpulkan SPPT di rumah salah satu warga yang pro.
"Warga takut dan tidak bisa tidur karena merasa terancam. Anggota Brimob masih berada di Wadas, bahkan tidur di teras rumah-rumah warga dan masjid.
"Ada 10 truk polisi masuk desa, angkut aparat bersenjata dan anjing pelacak. Infonya anjing itu akan dilepas untuk mencari warga yang bersembunyi di hutan," ujarnya.
Kecemasan itu makin menjadi-jadi karena muncul kabar bahwa warga Desa Kali Wader yang memiliki tanah di Wadas didatangi aparat dan dimintai tanda tangan persetujuan.
Warga penolak yang tinggal di desa sebelah Wadas itu, kata Sulaiman, diancam ditangkap jika menolak meneken dokumen.
Sulaiman mendengar desas-desus, warga akan dipaksa turut mengikuti pengukuran lahan yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
"Setelah mendengar itu, kami langsung bersembunyi. Kami takut," ujar Sulaiman.
"Hari ini memang tidak ada penangkapan, tapi Wadas seperti desa mati karena banyak warga menutup pintu rumah mereka," kata dia.
Situasi yang dipaparkan Sulaiman ini bertolak belakang dengan klaim juru bicara Polda Jawa Tengah, Kombes Iqbal Alqudusy. Dia menyebut situasi Desa Wadas saat ini sudah kondusif.
Lewat keterangan tertulis, Iqbal berkata pihaknya masih mendampingi pegawai Kantor Wilayah BPN Jateng yang mengukur ratusan bidang tanah di Wadas.
Lahan yang diukur itu, kata Iqbal, dimiliki warga Wadas yang tidak keberatan atas proses ganti kerugian terkait pengadaan tanah galian untuk proyek bendungan.
Sabar, seorang warga Wadas yang menyetujui ganti kerugian itu, berkata ingin segera melepas tanahnya kepada pemerintah.
Saat ditemui rombongan anggota Komisi III DPR, Sabar mengaku sepakat dengan harga sekitar Rp120 ribu per meter tanah yang ditetapkan pemerintah.
"Hitung-hitungan harganya kami sudah tahu. Masalah hak, yang menolak proyek punya hak, yang menerima juga punya hak. Tolong hargai kami yang menerima," kata Sabar.
"Kami yang sudah menerima tolong diberi wewenang untuk melepas hak kami," tuturnya.
Ketua Komisi III DPR, Desmond Mahesa, menilai huru-hara di Wadas semestinya tidak terjadi. Menurutnya, warga Wadas berhak menolak ganti kerugian tanah. Alasannya, Wadas tidak berada di pusat pembangunan Bendungan Bener.
Desmond merujuk ketentuan bahwa hanya warga yang berada di lokasi proyek strategis nasional yang secara hukum wajib menerima proses ganti rugi.
"Karena di luar bendungan, masyarakat Wadas bisa menolak karena mereka tidak melanggar aturan apapun. Hak menolak ada pada mereka," kata Desmond usai berkunjung ke Wadas.
"Harapan saya terkait pro-kontra ini, pelaksana proyek bisa menyelesaikannya secara baik-baik," ujarnya.
Penulis : Edy-A.-Putra
Sumber : BBC