> >

Masalah Kesehatan Intai Suku Baduy Dalam: Negara Gagal Penuhi Hak Dasar Sehat Warganya (2)

Bbc indonesia | 22 Januari 2022, 19:57 WIB
Getty Images
Orang-orang Baduy hidup tanpa bersentuhan dengan modernitas.

Klinik ini mulanya sebuah ruangan dengan toilet yang dibangun sebagai tempat transit menuju Cibeo. Dengan dukungan Alfamart, bangunan itu disulap menjadi sebuah klinik pada Oktober 2021.

Warga Baduy Luar bisa mencapai klinik dengan lima menit berjalan kaki, sementara warga Baduy Dalam, selama sekitar 45 menit.

Arif juga menggaji bidan sebesar Rp1,5 juta per bulan untuk ditempatkan di sana.

"Itu pun masih di bawah UMK [Upah Minimum Kabupaten], tapi mau bagaimana lagi," kata pria 44 tahun ini.

Tim relawan yang terdiri dari dokter, bidan, dan aktivis lainnya juga membuat Program Baduy Sehat dengan mengaktifkan kembali puskesmas keliling dan posyandu keliling.

Getty Images
Potret anak-anak Suku Baduy sedang menari.

Setiap hari, ujar Arif, sekitar 10-15 pasien Baduy datang berobat. Semuanya dilayani tanpa biaya.

"Yang penting mereka percaya dulu pada pengobatan medis. Tidak semua orang Baduy percaya pada pengobatan medis. Mereka masih percaya pada jampe-jampe dan paraji," cerita Arif.

Selama kurang lebih tiga bulan klinik berjalan, ungkap Arif, ia mulai bisa melihat persoalan kesehatan warga Baduy — mulai dari cacingan hingga penyakit kulit langka, frambusia atau patek.

"Frambusia ini kan penyakit kulit purba yang seharusnya sudah tidak ada lagi. Selain itu, penyakit paru yang kita khawatirkan, penyakit TB (tuberculosis), termasuk stunting dan gizi buruk juga ada di Baduy," terang Arif.

Mayoritas penyakit yang diderita warga Baduy yang jumlahnya sekitar 15 ribu itu, lanjut Arif lagi, terkait dengan pola hidup bersih sehat.

"Selama ini, orang kebanyakan termakan mitos, kalau Baduy itu kebal, sehat terus. Ternyata tidak juga," sebut Arif.

"Jadi kenyataannya, Baduy itu tidak seindah yang ada di foto atau video. Mereka butuh advokasi dan pendampingan."

'Negara belum terlalu hadir'

Pakar Kesehatan Masyarakat, Irvan Afriandi mengatakan, kasus Atirah bisa menjadi cermin dan pelajaran, apakah konstitusi negara tentang pemenuhan hak dasar masyarakatnya telah dijalankan oleh pemerintah daerah, maupun pusat.

Kondisi fasilitas kesehatan yang minim, akses yang sulit, dan terbatasnya jumlah tenaga kesehatan, menurut Irvan, mengindikasikan negara belum terlalu hadir dalam memenuhi hak dasar kesehatan warga Baduy.

Getty Images
Seorang pemuda Baduy menguliti kayu untuk dijual.

"Kalau negara hadir, seharusnya ada semacam pemantauan berkala, karena mereka punya kekhasan dari sisi adat," kata Wakil Dekan Universitas Padjadjaran ini.

Selain pemantauan, laporan masalah kesehatan juga harus dibuka secara berkala untuk mengetahui "apapun masalah kesehatannya".

Pemerintah, lanjut dia, juga punya kewajiban menerbitkan regulasi agar ketersediaan tenaga kesehatan dan kemampuan masyarakat mengaksesnya terpenuhi, dengan mengacu pada rasio dokter terhadap masyarakat 1:2500.

Pemerintah Kabupaten Lebak, kata Irvan, bertanggung jawab mengatasi kekurangan tenaga medis di wilayah Baduy. Jika tidak ada anggaran, dia bilang, Pemkab Lebak seharusnya bisa meminta bantuan ke pemerintah provinsi atau pusat.

"Ketika distribusi tenaga kesehatan tidak memenuhi standar yang diharapkan, itu jadi masalah. Ketika pemerintah tidak bisa memastikan ketersediaan dokter atau tenaga kesehatan yang bisa mengakses masyarakat, itu sebetulnya kegagalan pemerintah," cetus Irvan.

Di sisi lain, imbuh Irvan, pemanfaatan layanan kesehatan juga harus dimulai dari kemauan dari masyarakat Baduy itu sendiri.

Adanya kendala budaya dan adat yang diyakini suku Baduy, kata Irvan, bisa dihadapi pemerintah dengan menerapkan strategi khusus. Misalnya, melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat yang berpengaruh untuk menjadi "agen" dalam mengedukasi kesehatan kepada warganya.

Menurut Irvan, pemerintah harus memahami dan menghargai adat yang diusung warga Baduy, sepanjang penerapannya tidak mengancam jiwa.

Getty Images

Namun jika bisa mengancam jiwa, secara etika kedokteran, pemerintah atau pihak terkait punya tanggung jawab moral untuk memberi pemahaman.

"Itu dilakukan tidak? Kalau atas nama mempertahankan budaya, tapi kita tidak melakukan upaya meningkatkan literasi, artinya kita memberikan kesempatan bagi sebagian warga negara tertinggal dalam proses pembangunan."

"Kalau sampai ada yang neglected dua tahun (kasus Atirah), seyogyanya tidak terjadi kembali di masa depan," pungkas Irvan.

BBC News Indonesia telah mencoba menghubungi Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Lebak, Triyatno Supiono untuk dimintai tanggapannya, tapi hingga tulisan ini diturunkan belum mendapat jawaban.

---

Penulis : Vyara-Lestari

Sumber : BBC


TERBARU