Mitos dan Fakta Seputar Gigi Anak
Brandsight | 24 Maret 2023, 14:00 WIBKOMPAS.TV – Pernahkah Anda mendengar dongeng peri gigi? Peri gigi merupakan salah satu kisah fantasi yang populer di kalangan anak kecil seluruh dunia, terutama di Amerika Serikat.
Menurut cerita yang beredar, peri gigi bertugas mencari gigi seorang anak yang tanggal atau dicabut. Tak jarang orang yang meyakini, bila gigi tanggal tersebut diletakkan di bawah bantal, peri gigi akan menukarnya menjadi uang.
Faktanya, sosok yang menukar gigi menjadi uang bukanlah peri gigi, melainkan orang tua sang anak. Tujuannya yakni memotivasi si kecil agar tidak takut saat gigi susunya harus tanggal.
Di Indonesia, mitos seputar gigi yang populer tidak hanya kisah peri gigi, melainkan kebiasaan melempar gigi. Ketika gigi susu anak tanggal, ada kepercayaan untuk melempar atau membuangnya ke arah berlawanan. Jika gigi susu bawah tanggal, dilempar ke atas sementara gigi atas dibuang ke bawah.
Kebiasaan tersebut dilakukan karena dipercaya mampu mempercepat pertumbuhan gigi tetap atau permanen menggantikan gigi susu. Di sisi lain, ritual ini masih dilakukan hingga sekarang demi memotivasi si kecil agar percaya diri dan optimis giginya akan segera tumbuh lagi.
Sebenarnya, mitos-mitos tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan cepat atau lambatnya tumbuh kembang gigi anak.
Mayoritas gigi susu pertama kali tanggal saat anak berusia 6–7 tahun. Biasanya, gigi susu menunjukan sejumlah tanda yang sebaiknya diberi perhatian lebih ketika menjelang tanggal.
Tanda yang ditunjukkan antara lain gigi susu yang terasa goyang, muncul tonjolan berbentuk gigi di dekat gigi susu, hingga penampakan gigi permanen yang siap erupsi.
Namun, ada pula faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan gigi permanen seseorang. Gigi permanen bisa tumbuh terlambat atau bahkan tidak tumbuh sama sekali akibat sejumlah faktor, antara lain gangguan langsung pada gigi, sistemik.
Faktor gangguan langsung pada gigi susu antara lain trauma atau operasi akibat cedera, gigi susu tanggal lebih awal dari waktunya, serta jumlah gigi lebih dari normal sehingga tidak ada ruangan untuk tumbuh atau erupsi.
Tumor gigi, impaksi gigi, serta defisiensi lengkung rahang dan bentuk tulang, hingga radiasi juga bisa mempengaruhi pertumbuhan gigi.
Faktor sistemik seperti kekurangan vitamin D, malnutrisi, anemia, hingga memiliki penyakit yang berhubungan dengan hormon endokrin dapat menjadi penyebab lambatnya gigi permanen tumbuh. Selain itu, faktor genetik yang berhubungan dengan penyakit keturunan turut mempengaruhi pertumbuhan gigi.
Beberapa orang tua mungkin menganggap gigi susu tidak perlu dirawat karena akan tanggal nantinya. Padahal, gigi susu yang dirawat dengan baik akan memandu dan membuka jalan bagi tumbuhnya gigi tetap.
Para orang tua berperan penting untuk selalu memperhatikan kesehatan gigi anak sedini mungkin. Dengan begitu, kerusakan pada gigi susu saat kecil tidak terbawa ke gigi permanen yang akan tumbuh saat anak dewasa nanti.
Orang tua perlu mengajak anak terbiasa menyikat gigi setidaknya dua kali sehari, yaitu setelah makan dan sebelum tidur. Ajarkan si kecil menyikat gigi secara benar selama 2 menit.
Jadikan kebiasaan menyikat gigi terasa menyenangkan bagi anak, misalnya dengan sikat gigi bergambar karakter lucu atau menggunakan pasta gigi rasa buah. Anak juga perlu diajarkan berkumur setelah makan untuk membersihkan sisa makanan yang menempel di gigi.
Baca Juga: Gigi Anda Berlubang? Jangan Tunda Pergi ke Dokter Gigi!
Sementara itu, masyarakat juga banyak yang memilih mencabut gigi goyang dengan benang. Padahal, kebiasaan tersebut berisiko menyebabkan infeksi, luka pada gusi, bahkan efek traumatis.
Karena itu, proses pencabutan gigi sebaiknya dibantu dokter gigi ahli. Sayangnya masih banyak masyarakat enggan ke dokter gigi, termasuk untuk pemeriksaan rutin.
Idealnya, pemeriksaan ke dokter gigi dilakukan minimal tiap 6 bulan sekali meskipun tidak ada keluhan. Dengan demikian, bila ada lubang yang tak kasat mata bisa segera diatasi sebelum makin parah.
Selain mengajarkan kebiasaan baik merawat gigi, orang tua juga perlu mengenalkan dokter gigi pada si kecil. Hindari menakut-nakuti anak agar lebih terbiasa dan kooperatif saat giginya diperiksa.
Hingga kini, kesadaran masyarakat Indonesia untuk rutin ke dokter gigi masih tergolong rendah. Faktor penyebabnya antara lain akses yang menyulitkan, keterbatasan jumlah dokter gigi, hingga tidak meratanya dokter gigi di wilayah Indonesia.
Anggota Dewan Pakar PB PDGI Prof. Dr. drg. Tri Erri Astoeti, M.Kes., menyampaikan data bahwa saat ini jumlah dokter gigi berkisar 40 ribu orang. Jika menggunakan rasio 1:3.000, dibutuhkan sekitar 90 ribu dokter gigi untuk melayani 270 juta penduduk Indonesia.
Penulis : Meirna-Larasati
Sumber : Kompas TV