Memahami Nilai, Warisan Budaya serta Leluhur Indonesia, Papua dan Pasifik
Advertorial | 13 Oktober 2021, 13:17 WIBKOMPAS.TV – Indonesia menjadi tempat bertemu suku dan bahasa yang berbeda-beda. Selama 76 tahun, semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu” menghidupi dan dihidupi manusia Indonesia dengan latar belakang sosial-budaya yang beragam.
NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat misalnya, memiliki kelompok populasi paling banyak berasal dari Melanesia. Corak genetik yang sama juga ditemukan di negara-negara Pasifik, seperti Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon, Vanuatu, dan lainnya.
Indonesia telah lama menjadi rumah bagi percampuran berbagai etnis, dilatarbelakangi oleh sejarah peradaban yang kaya. Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Peneliti Senior dari Eijkman Research Center for Moleculal Biology (RCMB), Profesor Herawati Sudoyo.
“Indonesia, negara yang beragam yang mewakili lebih dari 500 populasi etnis, lebih dari 700 bahasa. Sebagian besar bahasanya termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia, sedangkan bahasa orang Papua digunakan di Indonesia timur,” kata Herawati dalam We-Talkshow The Series bertema “Common Heritage, Shared Future: Culture and Genetics Shaping Indonesia and The Pacific” yang tayang di Youtube Kompas TV, Selasa (12/10/2021).
Persebaran ini dipengaruhi oleh beberapa gelombang migrasi yang dilakukan nenek moyang Indonesia. Gelombang pertama berasal dari Afrika 100.000 tahun yang lalu, di mana nenek moyang Indonesia bermigrasi ke Eropa, Asia Tengah, dan datang melalui kepulauan Indonesia menuju benua Sahul (benua Australia—Papua saat masih satu daratan).
“Mereka melewati tanah Sunda, Kalimantan, Sumatra, dan Jawa masih bersama,” jelasnya.
Sementara itu, gelombang kedua migrasi berasal dari Asia Tengah, sekitar 30.000 tahun yang lalu.
Gelombang ketiga berasal dari Taiwan yang melewati bagian Utara New Guinea, melompati pulau ke pulau hingga Oceania.
Gelombang keempat berasal dari jalur perdagangan seperti China, India, Arab, dan jalur rempah.
Herawati menjelaskan, Papua menjadi unsur terpenting dari beberapa peristiwa percampuran, khususnya pada populasi Pasifik.
“Apabila kita melihat campuran gen di Indonesia antara populasi yang berbahasa Austronesia dengan populasi yang berbahasa non-Austronesia, tidak ada yang memiliki 100 persen latar belakang gen asli. Artinya, pasti selalu ada campuran pada komponennya. Selain itu, kita dapat menemukan hubungan pada gen orang Indonesia dan Pasifik, yang mana contohnya sebagaian latar belakang genetik orang di dangkalan Sunda juga ditemukan pada orang di Pasifik,” terangnya.
Tantangan kompleksitas budaya
Staf Ahli Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Tri Tharyat menjelaskan, jika ditelusuri dari rentang 1920 – 1940, gagasan penyatuan Indonesia mengeampingkan perbedaan, agama, warna kulit, suku, bahasa, geografi, dan budaya.
Indonesia adalah bangsa yang menyambut berbagai etnis, ras, dan agama, untuk bersatu ke dalam Republik Indonesia. Warisan bersama dan penerimaan perbedaan ini merupakan karakter bangsa Indonesia.
Kendati demikian, kompleksitas dalam budaya dan peradaban manusia Indonesia juga memunculkan konsekuensi dan kadang kala nada sumbang, bagaimana masyarakat dengan keragaman seperti itu dari berbagai agama, suku, bahasa asli, geografi, budaya, dan makanan dapat berbaur menjadi satu bangsa?
Bagaimana memastikan Indonesia memberikan hak setara kepada masyarakat Papua, terkait berbagai indikator mengenai hubungan antar ras, kebebasan berpendapat, dan juga kesejahteraan?
Baca Juga: KTM UNCTAD Ke-15: Pandangan, Dampak, dan Tindak Lanjut Indonesia
Sejatinya, melalui status Otonomi Khusus (Otsus) yang diatur dalam UU 21/2001, Pemerintah Indonesia telah memberikan hak afirmasi khusus dan kebebasan bagi Orang Asli Papua (OAP) untuk mengatur wilayahnya sendiri.
Lewat dana otsus yang telah digelontorkan sejak 2002 untuk Papua dan Papua Barat, Pemri memastikan OAP untuk mendapatkan hak atas kesehatan, pendidikan, kesejahteraan ekonomi, menjadi pemimpin utama dalam pemerintahan, ketenagakerjaan, layanan pembangunan infrastruktur, dan sebagainya.
Dana Otsus memberikan sumbangan yang besar bagi anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Papua, yakni mencapai 60 persen dari APBD Papua.
Staf Khusus Presiden RI yang juga merupakan pendiri Yayasan Kitong Bisa, Billy Mambrasar mengatakan, total dana otsus yang dialirkan untuk Provinsi Papua dan Papua Barat mencapai sekitar Rp 138,65 triliun dalam kurun 20 tahun.
Jumlah ini belum termasuk dengan Rp 702,3 triliun dari program Dana Desa dan pendanaan dari Kementerian sekitar Rp 251 triliun rupiah, Rp 85 triliun untuk Papua dan 41,87 persennya untuk Papua Barat.
“Tapi dana itu bukan poin penting utama. Intinya lebih menekankan pada hak bagi OAP untuk berpartisipasi dalam pembangunan, bukan hanya menjadi objek pembangunan, tapi mereka akan menjadi subyek pembangunan,” jelas Billy.
Penulis : Elva-Rini
Sumber : Kompas TV