Kekayaan Intelektual: Kunci Daya Saing Sektor Ekonomi Kreatif
Advertorial | 22 September 2021, 12:02 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Sektor Ekonomi Kreatif (Ekraf) merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Kontribusi sektor ekraf mencapai 8 persen PDB Indonesia dan menyumbang 13 persen ekspor nasional (BPS, 2019).
Terlebih, mayoritas pelaku ekraf nasional adalah UMKM. Hal ini memperkokoh peran penting sektor ini sebagai salah satu sumber lapangan pekerjaan. Karenanya, penguatan daya saing dan ketahanan sektor ekraf merupakan salah satu prioritas yang penting bagi Indonesia.
Berdasarkan UU No.24 tahun 2019, ekraf adalah “perwujudan nilai tambah dari kekayaan intelektual yang bersumber dari kreativitas manusia yang berbasis warisan budaya, ilmu pengetahuan, dan/atau teknologi”.
Kata kunci pada definisi tersebut adalah “nilai tambah”, “kekayaan intelektual (KI)”, dan “kreativitas manusia”. Di era teknologi digital yang memungkinkan kolaborasi lintas batas, ekraf mengedepankan kreativitas dan inovasi sebagai aset utama dalam menggerakkan ekonomi melalui nilai tambah dari KI.
KI sebagai kunci daya saing
Banyak pelaku usaha, termasuk pelaku ekraf dan UMKM, yang kurang memberikan perhatian terhadap KI sebagai bagian dari strategi pengembangan bisnis. Hal ini merupakan akibat dari miskonsepsi bahwa KI adalah isu teknis dan legal yang dianggap tidak ada hubungannya dengan strategi bisnis.
Miskonsepsi lain terkait KI adalah anggapan bahwa KI adalah urusan perusahaan besar, oleh karena itu pelaku ekraf dan UMKM tidak harus mempedulikan KI sebagai bagian dari strategi bisnisnya.
Salah satu sebab dari berbagai miskonsepsi di atas adalah pemikiran bahwa istilah “inovasi” dan “kreativitas” adalah jargon semata, hanya konsep abstrak yang banyak digunakan oleh pembicara, pelaku bisnis, dan pejabat di berbagai seminar atau konferensi.
Padahal, KI adalah perwujudan konkret dari konsep abstrak “inovasi” dan “kreativitas” yang biasa kita anggap sebagai jargon semata.
Di sinilah muncul pentingnya KI sebagai bagian dari strategi bisnis bagi seluruh pelaku ekonomi. KI ada dan nyata di hampir semua kegiatan ekonomi, baik untuk perusahaan besar, UMKM, hingga untuk pekerja kreatif perorangan.
Setiap jenis KI (paten, merek, desain industri, hak cipta, dsb) berperan memberikan nilai ekonomi konkret dari hasil inovasi dan kreativitas yang dianggap tidak berwujud.
Paten menerjemahkan inovasi hasil investasi melalui riset dan pengembangan. Merek dagang menerjemahkan branding dan reputasi bisnis yang telah dibangun. Desain industri menerjemahkan kemasan dan keunikan yang membedakan produk dan jasa dari pesaing.
Sementara, hak cipta menerjemahkan ekspresi kreativitas dan seni menjadi aset konkret yang dapat dikomersialkan.
Singkatnya, KI adalah alat untuk menerjemahkan aset kreativitas menjadi memiliki nilai ekonomi konkrit untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah terhadap produk dan jasa yang dikembangkan oleh pelaku ekonomi, termasuk pelaku ekraf dan UMKM.
Jika kita ambil contoh merek misalnya, perlidungan merek dagang dan branding menjadi semakin penting di era digital ini. Di tengah pasar yang ramai, termasuk untuk bersaing di platfrom e-commerce, pelaku ekraf dan UMKM harus bisa meningkatkan visibilitas bisnisnya.
Misalnya, jika konsumen ingin membeli “ayam geprek” atau “batik” tanpa merek dan brand yang dikenal, konsumen akan mengetikkan "ayam geprek" atau “batik” di bilah pencarian dan semua toko yang menawarkan produk tersebut akan ditampilkan di hasil pencarian.
Namun, jika merek bisnis telah memiliki branding dikenal yang didukung oleh investasi iklan dan reputasinya dilindungi oleh merek dagang, konsumen cukup mengetikkan nama bisnis pada bilah pencarian, dan hanya bisnis dengan merek tersebut saja yang ditampilkan tanpa ada bisnis pesaing.
Hal yang sama berlaku untuk jenis KI lainnya. Setiap resep dan proses produksi dapat dilindungi melalui paten dan rahasia dagang, setiap kemasan dan desain unik seperti warna tertentu untuk sedotan minuman bobba dapat dilindungi melalui desain industri, materi iklan dan ekspresi apa pun dapat dilindungi melalui hak cipta.
Pentingnya KI bagi pelaku ekraf dan UMKM
Pertanyaan kemudian, mengapa pelaku ekraf dan UMKM perlu melindungi dan mengelola aset KI?
Jawaban sederhananya adalah karena komersialisasi KI akan melindungi investasi, meningkatkan daya saing, serta mendorong nilai tambah dalam produk dan layanan yang ditawarkan.
Komersialisasi KI sangat penting bagi sektor ekraf dan UMKM karena sektor ini sering kali menjadi penggerak pertama dalam inovasi dan penciptaan produk atau inovasi baru.
Melalui komersialisasi KI, rahasia dagang, desain unik, nama produk, dan inovasi lainnya akan memiliki nilai nyata dan terlindung dari munculnya pesaing-pesaing yang tidak berinvestasi tapi hanya mencontoh produk atau bisnis yang baru tersebut (mendompleng tren yang sudah susah payah dibangun oleh pencetus pertama).
Pada gilirannya, KI akan memberikan keunggulan bisnis bagi pelaku ekraf dan UMKM. Perlindungan dan pengelolaan KI memungkinkan pelaku ekraf dan UMKM untuk memiliki eksklusivitas atas eksploitasi ide-ide inovatif dan memberi insentif bagi mereka untuk berinvestasi lebih jauh dalam meningkatkan daya saing.
Diplomasi Ekraf: Momentum Tahun Internasional Ekonomi Kreatif 2021
Kementerian Luar Negeri melaksanakan diplomasi yang mendukung sektor ekraf dan UMKM. Diplomasi dilaksanakan dengan fokus untuk menciptakan peluang kerja sama sektor ekraf baik di tingkat bilateral, regional, dan internasional.
Diplomasi juga dilaksanakan untuk mengarustamakan isu pengembangan ekraf sebagai isu global. Melalui diplomasi, Indonesia berhasil menjadi global leader untuk isu ekraf.
Diawali dari pelaksanaan World Conference on Creative Economy, kerja sama Kemenparekraf dan Kemlu pada tahun 2018, diplomasi ekraf terus digaungkan dan behasil mendorong 193 anggota PBB untuk mengesahkan resolusi PBB yang diinisiasi oleh Indonesia. Resolusi tersebut menjadikan tahun 2021 sebagai Tahun Internasional Ekonomi Kreatif untuk Pembangunan Berkelanjutan (IYoCE 2021).
Memanfaatkan momentum IYoCE 2021, diplomasi terus dilaksanakan untuk mengusung isu ekraf di berbagai forum internasional. Seperti pelaksanaan forum ekraf sebagai pre-event Konferensi Tingkat Menteri UNCTAD dan kegiatan level Menteri dan kepala Organisasi Internasional terkait Ekraf pada perhelatan Sidang Majelis Umum PBB di bulan September 2021.
Pentingya KI bagi ekraf juga digaungkan di Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO). Pada Juli 2021, Indonesia berhasil memajukan agenda “KI dan Ekonomi Kreatif” serta berhasil mendorong kesepakatan proyek bernilai 12 miliar untuk 4 negara, termasuk di Indonesia sebagai pencetus.
Tidak hanya untuk tahun 2021, diplomasi tetap akan mengawal isu ekraf ke depan, termasuk untuk presidensi Indonesia di G-20 pada tahun 2022.
Sektor Ekraf dan KI: Prioritas Nasional
Tidak hanya melalui diplomasi di tingkat internasional, Pemerintah terus memfasilitasi pelaku ekraf dan UMKM dalam komersialisasi KI di tingkat nasional. Berbagai instansi pemerintah memiliki program khusus fasilitasi KI bagi pelaku ekraf dan UMKM.
Seperti Kementerian Perindustrian dengan program klinik KI untuk membantu berbagai industri kecil mendaftarkan dan mengelola KI. Kementerian Koperasi dan UKM bersama Kemenparekraf bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual terus memberikan dukungan bagi UMKM dan pekerja kreatif dalam pengelolaan dan komersialisasi KI melalui berbagai program inovatif.
Meskipun demikian, dukungan pemerintah saja tidak akan cukup. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, pada tahun 2019 hanya 4 persen UKM di Indonesia yang memiliki sertifikasi, termasuk sertifikasi aset KI seperti paten, merek dagang, atau hak cipta. Hal ini menunjukkan bahwa ada kebutuhan untuk membangun lebih banyak kesadaran di kalangan pelaku ekraf dan UMKM tentang pentingnya KI.
Untuk mencapainya, diperlukan kebijakan KI yang menekankan kolaborasi efektif antara semua aktor dalam ekosistem inovasi Indonesia.
Kebijakan KI tidak dapat berjalan dalam ruang hampa, seluruh pemangku kepentingan harus mendukung strategi yang terintegrasi dengan baik. Penting untuk digarisbawahi bahwa pemangku kepentingan ini juga termasuk kita semua, masyarakat umum.
Kita harus paham bahwa inovasi dan kreativitas memiliki premium yang harus dilindungi dan dihargai. Kita harus bisa menolak untuk mengkonsumsi produk tiruan atau bisnis yang melanggar KI pihak lain.
Menuju visi Indonesia Maju 2045, sudah saatnya bagi Indonesia untuk tidak saja menjadi sumber ekspor komoditas dan pasar yang besar untuk produk bernilai tambah tinggi dari negara lain. Sudah saatnya bagi Indonesia menjadi sumber inovasi dan kreativitas yang berkontribusi terhadap tidak saja kemajuan nasional tetapi juga kemajuan sosio-ekonomi global.
Penulis: Erry W. Prasetyo
Pejabat Fungsional Diplomat
Kementerian Luar Negeri RI
*Disclaimer: Pandangan pada tulisan mencerminkan pandangan pribadi dan tidak mewakili pandangan institusi manapun.
Penulis : Elva-Rini
Sumber : Kementerian Luar Negeri RI