KOMPAS.TV – Kasus stunting berkaitan dengan permasalahan kemiskinan ekstrem di Indonesia sehingga kedua masalah tersebut tidak bisa dipisahkan.
Pasalnya, fenomena kemiskinan ekstrem seperti kendala dalam mengakses kebutuhan dasar, akses air bersih, hingga fasilitas sanitasi sering menjadi penyebab stunting.
Kemiskinan ekstrem diukur menggunakan absolute poverty measure yang konsisten antarnegara dan antarwaktu. Seseorang dikatakan miskin ekstrem jika pengeluarannya di bawah Rp10.739/orang/hari atau Rp322.170/orang/bulan (BPS, 2021).
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemiskinan menjadi faktor kuat dari stunting. Salah satu faktor utama stunting, yaitu masalah kurang gizi, umumnya dialami orang tua yang tidak memiliki akses pada makanan sehat dan bergizi. Akibatnya, buah hatinya menjadi kekurangan nutrisi.
Rumah tangga yang miskin tidak dapat memenuhi asupan gizi untuk anaknya sehingga anak tersebut menjadi stunting. Dengan kondisi seperti itu, tumbuh kembang anak menjadi terhambat sehingga menghasilkan SDM yang tidak berkualitas.
SDM yang tidak berkualitas tidak dapat memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga terjerat dalam kemiskinan. Seperti itulah kira-kira gambaran mengenai stunting dan pusaran kemiskinan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), angka nasional kemiskinan ekstrem pada Maret 2022 sebesar 2,04 persen atau 5,59 juta jiwa, menurun dari data Maret 2021 yang sebesar 2,14 persen atau 5,8 juta jiwa. Sementara, angka stunting 2022, menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), 21,6 persen, turun dari 2021 sebesar 24,4 persen.
Di Indonesia, stunting menjadi fokus dalam percepatan penurunannya serta penanganan dari berbagai sektor karena berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya kesakitan dan kematian, menurunnya perkembangan otak dan motorik, serta terhambatnya pertumbuhan mental.
Permasalahan stunting di Indonesia mendapat perhatian khusus dari Presiden sehingga diterbitkan Peraturan Presiden nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.
Presiden Joko Widodo menargetkan masalah kemiskinan ekstrem nasional di tahun 2024 entas menjadi 0 persen, dan masalah stunting turun menjadi 14 persen.
Karena itu, untuk menyelesaikan masalah kemiskinan ekstrem dan stunting harus diatasi secara beriringan. Pemerintah perlu melakukan upaya serius dalam penanganan stunting dan kemiskinan ekstrem melalui intervensi spesifik dan intervensi sensitif.
Intervensi gizi spesifik merupakan intervensi yang berhubungan dengan peningkatan gizi dan kesehatan seperti pemberian makanan bergizi serta suplemen tambahan.
Di sisi lain, intervensi gizi sensitif adalah intervensi pendukung mempercepat penurunan stunting, seperti penyediaan air bersih, MCK, dan fasilitas sanitasi.
Intervensi sensitif dapat melibatkan Kementerian PUPR, sedangkan intervensi spesifik wajib dikoordinasikan dari Kementerian Kesehatan.
Presiden mendorong para kepala daerah memanfaatkan teknologi dan platform aplikasi dalam memantau stunting guna menekan angka gagal tumbuh pada anak di daerahnya masing-masing.
Presiden mencontohkan Kabupaten Sumedang yang telah sukses memanfaatkan dukungan teknologi informasi untuk menekan angka stunting dari kisaran 32 persen pada 2018 menjadi sekitar 7 persen di 2022.
Penekanan angka stunting penting mengingat Indonesia akan memiliki bonus demografi yang puncaknya pada 2030–2035 sehingga pengembangan sumber daya manusia (SDM) harus terus dioptimalkan.
Tingginya angka stunting di Indonesia dapat menjadi ancaman menyambut bonus demografi di masa mendatang.
Karena itu, diperlukan upaya nyata untuk mengentaskan "Stunting dan Kemiskinan Ekstrem" demi menghasilkan generasi emas yang cerdas dan produktif untuk mendukung Indonesia berdaya saing tinggi dan berkualitas.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.