KOMPAS.TV – Memasuki tahun ajaran baru, dunia pendidikan, khususnya tingkat perguruan tinggi harus terus meningkatkan kewaspadaan terhadap paham dan gerakan kekerasan.
Paham yang dimaksud terutama yang bertujuan menggulingkan pemerintahan yang sah dengan legitimasi didasarkan pemahaman agama yang salah. Paham dan gerakan tersebut adalah intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.
Catatan Global Terrorism Index 2022 menyebutkan, sepanjang tahun 2021, terdapat 5.226 aksi terorisme di seluruh dunia. Korban meninggal dunia yang berjatuhan akibat aksi tersebut mencapai 7.142 jiwa.
Tidak sedikit dari jumlah tersebut adalah anak-anak, perempuan, dan golongan usia renta. Hal ini menunjukkan bahwa terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan gerakan keagamaan.
Baca Juga: Wakapolri Gatot Eddy Lakukan Kunjungan ke Kantor KompasTV
Di Indonesia, data yang dimiliki oleh Densus 88 terkait aksi terorisme dan penangkapan terhadap pelakunya juga menunjukkan angka yang tinggi.
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari penyebaran paham dan gerakan radikalisme dan intoleransi yang utamanya, menyasar kalangan anak-anak muda, termasuk dengan masuk ke wilayah pendidikan.
Dalam lima tahun terakhir ini saja, dunia pendidikan kita, khususnya kampus, masih menjadi incaran utama kelompok radikal-terorisme.
Proses infiltrasi paham dan gerakan radikal dan ekstremisme masuk dengan berbagai cara, mulai dari menyusup di kegiatan-kegiatan keagamaan (CISForm, 2018), masjid-masjid kampus (INFID, 2018), dan persebaran buku-buku (PPIM, 2018).
Pola penyebarannya pun tidak lagi dilakukan hanya melalui medium dakwah dan forum-forum halaqah, tetapi sudah merambah ke media sosial (cyber space) dan jalur-jalur pertemanan.
Hasilnya, sebagaimana dilaporkan PPIM (2020), 24,89 persen mahasiswa Indonesia terindikasi memiliki sikap intoleran.
Dari sumber lain, Alvara Research (2020) melaporkan bahwa 23,4 persen mahasiswa dan pelajar Indonesia mengaku anti-Pancasila dan malah pro-khilafah. Data-data ini tentu mengkhawatirkan, tetapi bukan berarti tidak bisa kita kalahkan.
Sel Tidur
Sebagai pintu terakhir sebelum menggumpal menjadi terorisme, radikalisme adalah sikap atau mental yang menyetujui dan mendukung penggunaan aksi-aksi kekerasan untuk mencapai suatu tujuan.
Baca Juga: BNPT: 33 Juta Penduduk Indonesia Terpapar Radikalisme, Butuh Undang-Undang Pencegahan
Jenderal Polisi (Purn.) Prof. Drs. H. Muhammad Tito Karnavian, M.A., Ph.D. secara lebih spesifik menjelaskan bahwa seseorang dapat dicurigai terjangkit radikalisme apabila menunjukkan bentuk-bentuk aksi tertentu.
Sebagai contoh, aksi mengapresiasi aksi terorisme, tidak mengecam aksi terorisme, menunjukkan dukungan melalui unggahan di media sosial, mencurigai aksi teror sebagai rekayasa, dan sebagainya.
Jika sikap dan pemahaman ini tidak segera diintervensi, sangat mungkin seseorang yang sudah radikal menjadi teroris.
Pihak yang bersangkutan bukan lagi mendukung dan menyetujui aksi-aksi kekerasan, tetapi sudah terlibat langsung dengan menjadi pelaku atau eksekutor aksi-aksi kekerasan tersebut.
Hal yang harus dipahami bersama adalah radikalisme terjadi secara bertahap dan dengan kadar yang berbeda-beda pula.
Baca Juga: Hadang Radikalisme dan Terorisme di Kalangan Mahasiswa, Upaya Apa yang Harus Dilakukan?
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.