JAKARTA, KOMPAS.TV – Seiring perkembangan teknologi, ancaman cyberattack atau serangan dunia maya tidak bisa dianggap sepele. Salah satu jenis serangan siber paling berbahaya terutama bagi organisasi ialah ransomware.
Ransomware adalah tipe malware yang menggunakan metode enkripsi untuk menyimpan, menyembunyikan, bahkan mengunci data korban. Penjahat siber menjadikan data tersebut sebagai sandera dan meminta sejumlah uang tebusan agar bisa diakses kembali.
Di sisi lain, ancaman kebocoran data kelumpuhan instan sistem daring juga patut diwaspadai. Terlebih di masa pandemi yang mengharuskan transaksi hampir di semua sektor dilakukan online.
Country Manager IBM Infrastructure, Anthony Wijaya memaparkan adanya peningkatan serangan siber di regional Asia, termasuk Indonesia. Bahkan, menurut IBM X-Force Threat Intelligence Index 2022, regional Asia menempati urutan pertama kasus cyberattack di dunia. Sebanyak 21 persen atau satu dari lima serangan siber tersebut berupa ransomware.
Berdasarkan data dari Badan Siber dan Sandi Negara, selama 2020 terjadi 465,3 juta percobaan serangan siber di Indonesia. Artinya, terjadi peningkatan sebesar 41 persen sejak 2019.
Namun, data yang akurat masih cenderung sulit didapatkan. Hal ini disebabkan banyak organisasi tidak melapor saat terkena serangan siber, mulai dari terjadinya kebocoran data sampai pemulihan.
Menurut Anthony, terjadinya penyerangan ini menyangkut hal sensitif. Karena itu, saat terjadi, mayoritas publik hanya sebatas mengetahui adanya masalah dalam jasa pelayanan.
Baca juga: Korban Serangan Ransomware, Data BI yang Bocor Bertambah
Ada dua inisiatif yang dapat dilakukan organisasi untuk meminimalisasi serangan siber. Pertama, diperlukan cyber security dari internal mencakup sumber daya manusia (SDM), proses, dan peralatan yang memadai untuk mencegah serangan siber.
Kedua, cyber resiliency, suatu usaha untuk melakukan pemulihan sehingga operasional bisnis tetap dapat berjalan normal bahkan setelah terjadi serangan.
Faktanya, banyak keamanan siber organisasi yang kurang memadai, terutama menghadapi ransomware. Hal ini menyebabkan pemulihan data usai terjadinya serangan membutuhkan waktu lebih lama.
Anthony juga menegaskan organisasi harus menyadari adanya ancaman cyber security, seperti pencurian data. Perusahaan perlu melakukan klasifikasi data prioritas dan menyiapkan aplikasi pendukung.
Pelatihan dan simulasi terhadap SDM untuk menghadapi serangan siber juga perlu dilakukan secara rutin agar siap bila sewaktu-waktu terjadi.
“Intinya adalah perlunya melindungi semua data secara end-to-end agar meminimalisir cyberattack sampai proses recovery,” kata Anthony.
Silviana Suryadinata, Business Manager IBM Hardware dari Sinergi Wahana Gemilang (SWG), memaparkan pentingnya pemilihan infrastruktur yang tepat untuk keamanan siber sebuah perusahaan.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.