KOMPAS.TV – Kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) tidak hanya membawa manfaat bagi lingkungan, tetapi juga ekonomi warga sekitar Desa Lempah Sempage, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Sejak mekanisme co-firing biomassa mulai dilakukan di PLTU Jeranjang pada Desember 2020, warga setempat berbondong-bondong mengumpulkan serbuk kayu untuk didistribusikan ke PLTU.
Untuk diketahui, metode co-firing mencampur batubara dengan biomassa berkadar tertentu sebagai bahan bakar utama PLTU. Umumnya, kadar biomassa yang dicampur 5-10 persen.
Ada sekitar 15 titik pengolahan kayu di desa yang berjarak tak jauh dari Mataram, ibu kota NTB. Muazzinin (33) adalah salah seorang warga yang bekerja mengangkut serbuk untuk dimasukkan ke dalam karung berkapasitas 50 kilogram.
”Setiap ada pengambilan serbuk kayu, saya pasti ke sini. Ikut ambil upah. Tidak hanya saya, warga lain juga ikut,” tutur Mazizinin, seperti dikutip dari Kompas, (11/10/2021).
Muazzinin menyebutkan, mereka dibayar Rp 3.000 per karung serbuk kayu. Setiap kali ada pengangkutan, Muazzinin bisa membawa pulang hingga Rp 50.000.
”Lumayan. Ada tambahan untuk belanja di rumah,” lanjutnya yang juga tengah membudidayakan jamur tiram.
Kegiatan itu telah berlangsung hampir setahun sejalan dimulainya substitusi batubara dengan mekanisme co-firing biomassa di PLTU Jeranjang.
Barwan, koordinator pasokan serbuk kayu ke PLTU Jeranjang, menjelaskan mekanisme pengambilan serbuk kayu.
”Pengambilannya secara bergiliran. Satu kali dalam seminggu dengan rata-rata produksi 10-13 ton,” kata Barwan.
Dari lokasi pengolahan kayu, serbuk kayu tersebut kemudian dikumpulkan ke tempat penampungan sementara yang juga berfungsi untuk proses pengeringan.
Lalu, setiap bulan sekali, Barwan mengirim sekitar 300 ton serbuk kayu ke PLTU Jeranjang. Serbuk kayu dijual Barwan sekitar Rp 400 per kg.
”Dari seluruh serbuk kayu yang berhasil saya kumpulkan memang tidak semuanya ke PLTU. Tetapi sekitar 80 persen. Sisanya untuk usaha jamur tiram,” kata Barwan.
Ia mengakui, kegiatan itu berdampak secara ekonomi bagi warga di lokasi pengambilan serbuk kayu, baik itu warga yang mengisi karung maupun bagi pemilik tempat pengolahan kayu.
Jika di satu titik ada sekitar 300 karung, setidaknya Barwan mengeluarkan sekitar Rp 1 juta untuk warga.
”Sementara ke pemilik area, sebenarnya serbuk kayu dikasih gratis. Karena jika tidak diambil, akan jadi limbah. Namun, saya tetap memberi mereka Rp 200.000-Rp 300.000 per truk,” ujar Barwan.
Salah satu pemilik area pengolahan kayu, Siamul Hadi (42), membenarkan hal itu. Menurutnya, serbuk kayu dari tempatnya memang diberikan secara gratis.
“Namun, untuk biaya pengisian ke karung tidak. Itu tentu jadi peluang bagi warga di sini untuk dapat penghasilan,” jelas Siamul.
Baca Juga: PLTP Lebih Ramah Lingkungan, Tapi Terkendala Perekonomian
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.